Nepotisme adalah Sebuah Kultur (?)
Suatu hari ibuku sakit, ada benjolan di ketiak yang tadinya kecil lama-lama membesar. Mungkin sekitar satu bulan sudah. Akhirnya demam selama dua hari. Imunnya terserang. Ibu (kami sekeluarga juga) memakai asuransi dari pemerintah BPJS kelas 1. Jadi kalau sakit dan perlu periksa, kami akan ke klinik Pratama yang sudah kami pilih sendiri. Karena BPJS memberlakukan periksa di rumah sakit berjenjang, tidak di sembarang rumah sakit. Mungkin teman-teman sudah paham. Aku, bapak, dan Indra sudah berulang sih ke klinik Pratama itu, ibu belum pernah. Hari itu ibu merasa tidak kuat, ibu ingin periksa. Ku antar. Bapak menyusul. Dokter umum memberi rujukan ke rumah sakit jenjang lebih tinggi karena diagnosanya ini adalah benjolan yang memang perlu dihilangkan melalui jalur operasi. Harus atas keputusan dokter spesialis bedah tentunya.
Keesokan harinya kami ke rumah sakit (besar), ibu dinyatakan benjolan getah bening yang harus dioperasi. Dokter bilang selesai pemeriksaan mulai puasa, tindakan operasi akan dilakukan malam harinya. Karena pasien BPJS kelas 1, berdasarkan aturan pemerintah yang terbaru hanya bisa di ruang kelas 1 (isi 1 kamar 2 orang) kalau ingin di kelas di atasnya (menambah biaya sendiri) hanya boleh naik satu kelas yaitu VIP.
Kami urus kamar. Kamar yang ada hanya kelas 3 (isi 5 orang atau lebih) dan VVIP yang hanya per malamnya (kamarnya aja) 1700000. Kelas 3 ibu tidak mau, tidak nyaman. Petugas menawarkan antre di kelas 1 akan masuk antrean 15 dan di kelas VIP akan masuk antrean 5. Kami apply antrean VIP. Setelah ku tanya, jumlah kamar kelas VIP adalah 6. Tanda tanya besar. Ini rumah sakit sangat besar, terkenal, masa kelas VIP cuma 6 (?) Aku coba konfirmasi mungkin ada perbedaan ketersediaan kamar bagi pasien umum dan BPJS. Petugas dengan tegas mengatakan "tidak".
Sebetulnya, bapak adalah orang yang sangat dekat dengan lingkungan rumah sakit ini. Sebut saja "orang dalam". Selain bapak adalah kepala pengelolaan parkir di rumah sakit ini, banyak punya hubungan sangat dekat, bapak bekerja di sebuah kantor yang ya erat kaitannya dengan rumah sakit ini. Saat ibu diputuskan harus operasi, dan di aplikasi rumah sakit mengatakan kamar yang kami mau tidak tersedia, bapak menghubungi salah seorang atau dua kawannya untuk meminta kemudahan mendapat kamar VIP. Salah seorang mereka mengatakan harus sesuai prosedur, tidak bisa bantu. Yang satunya mengatakan, membantu mencoba melobi mempercepat antrean. Nanti akan ditelfon. Tapi belum jelas. Namanya nepotisme ya? Aku sudah bilang ke bapak, ini akan mendzalimi orang-orang yang juga sama sakit dan sama mengantre kamar. Tapi karena di petugas terakhir kami tak berhasil mendapatkan kamar, karena ibu masih kuat untuk pulang, ibu memutuskan untuk pulang. Nunggu ditelfon untuk datang jika sudah ada kamar VIP yang kosong. Sebetulnya pilihan lainnya adalah kelas 3 atau VVIP tapi tidak menggunakan layanan BPJS. keputusan bersama, ibu mau pulang. Jika akan pulang, ibu harus kembali ke poli bedah untuk menyerahkan berkas yang akan ditinggal tapi diproses antrean. Tiba-tiba petugas poli mengatakan, pukul 4 sore masuk, sekarang harus cek laboratorium dan Rontgen. Kami heran. Kok gitu? Ketika petugas poli bertemu bapak, kata bapak, petugas mengatakan sesuatu yang membuat bapak sadar bahwa beliau kenal bapak siapa. Ya walau bapak tidak tahu persis beliau siapa. Hehehe
Ternyata, ada hasil dari perlobian tadi. Aku masih heran. Sebelum cek lab dan rontgen, kami harus ke petugas registrasi kamar yang tadi lagi, yang mengatakan semua kamar penuh. Oiya, ini sementara mendapat kamar kelas 1 yang sebelahnya bapak-bapak yang akan segera pulang. Kemudian akan pindah di VIP segera.
Sebetulnya, jujur, aku merasa berdosa. Yang tadinya tidak jadi nepotisme eh jadi. Walau bapak tak cukup menerima kabar dengan jelas, berasal dari kawan yang mana. Mereka tidak konfirmasi apapun.
Oke, katakanlah kami nepotisme kami salah. Tapi mungkin kalian setuju kalau aku bilang "nepotisme adalah semacam kultur di Indonesia." Di luar itu, ya kami salah!
Tapi, pikiranku ke mana-mana. Soal kamar BPJS dan non BPJS adalah tidak dibedakan saya berani menuduh bohong. Jadi aku berpikir, ibuku adalah pasien BPJS yang mengambil jatah non BPJS melalui "orang dalam". Ya masa iya aku harus mempertahankan percaya bahwa rumah sakit sebesar ini hanya punya 6 kamar VIP? Nggak mau, nggak mau percaya.
Untuk itu aku meminta maaf kepada pasien antre lain sesama BPJS yang mungkin tahu dirinya dicurangi oleh kami dan misuh-misuh di belakang. Meminta maaf juga kepada sesama pasien BPJS karena kami tidak mengalami kesulitan kamar yang kalian alami. Menahan sakit dari rumah kalian. Dan semoga akan baik-baik saja.
Balik lagi sebelum cek laboratorium dan Rontgen, petugas mengatakan, benjolan ibu terlalu bahaya untuk ditunda operasi. Jika pecah, akan memperburuk keadaan.
Sudah ya. Aku masih diselimuti rasa bersalah. Tapi aku juga tetap berdoa untuk ibuku. Semoga lekas sembuh, ibuku.
Firlie N.H
20 Maret 2019
Rumah Sakit
Keesokan harinya kami ke rumah sakit (besar), ibu dinyatakan benjolan getah bening yang harus dioperasi. Dokter bilang selesai pemeriksaan mulai puasa, tindakan operasi akan dilakukan malam harinya. Karena pasien BPJS kelas 1, berdasarkan aturan pemerintah yang terbaru hanya bisa di ruang kelas 1 (isi 1 kamar 2 orang) kalau ingin di kelas di atasnya (menambah biaya sendiri) hanya boleh naik satu kelas yaitu VIP.
Kami urus kamar. Kamar yang ada hanya kelas 3 (isi 5 orang atau lebih) dan VVIP yang hanya per malamnya (kamarnya aja) 1700000. Kelas 3 ibu tidak mau, tidak nyaman. Petugas menawarkan antre di kelas 1 akan masuk antrean 15 dan di kelas VIP akan masuk antrean 5. Kami apply antrean VIP. Setelah ku tanya, jumlah kamar kelas VIP adalah 6. Tanda tanya besar. Ini rumah sakit sangat besar, terkenal, masa kelas VIP cuma 6 (?) Aku coba konfirmasi mungkin ada perbedaan ketersediaan kamar bagi pasien umum dan BPJS. Petugas dengan tegas mengatakan "tidak".
Sebetulnya, bapak adalah orang yang sangat dekat dengan lingkungan rumah sakit ini. Sebut saja "orang dalam". Selain bapak adalah kepala pengelolaan parkir di rumah sakit ini, banyak punya hubungan sangat dekat, bapak bekerja di sebuah kantor yang ya erat kaitannya dengan rumah sakit ini. Saat ibu diputuskan harus operasi, dan di aplikasi rumah sakit mengatakan kamar yang kami mau tidak tersedia, bapak menghubungi salah seorang atau dua kawannya untuk meminta kemudahan mendapat kamar VIP. Salah seorang mereka mengatakan harus sesuai prosedur, tidak bisa bantu. Yang satunya mengatakan, membantu mencoba melobi mempercepat antrean. Nanti akan ditelfon. Tapi belum jelas. Namanya nepotisme ya? Aku sudah bilang ke bapak, ini akan mendzalimi orang-orang yang juga sama sakit dan sama mengantre kamar. Tapi karena di petugas terakhir kami tak berhasil mendapatkan kamar, karena ibu masih kuat untuk pulang, ibu memutuskan untuk pulang. Nunggu ditelfon untuk datang jika sudah ada kamar VIP yang kosong. Sebetulnya pilihan lainnya adalah kelas 3 atau VVIP tapi tidak menggunakan layanan BPJS. keputusan bersama, ibu mau pulang. Jika akan pulang, ibu harus kembali ke poli bedah untuk menyerahkan berkas yang akan ditinggal tapi diproses antrean. Tiba-tiba petugas poli mengatakan, pukul 4 sore masuk, sekarang harus cek laboratorium dan Rontgen. Kami heran. Kok gitu? Ketika petugas poli bertemu bapak, kata bapak, petugas mengatakan sesuatu yang membuat bapak sadar bahwa beliau kenal bapak siapa. Ya walau bapak tidak tahu persis beliau siapa. Hehehe
Ternyata, ada hasil dari perlobian tadi. Aku masih heran. Sebelum cek lab dan rontgen, kami harus ke petugas registrasi kamar yang tadi lagi, yang mengatakan semua kamar penuh. Oiya, ini sementara mendapat kamar kelas 1 yang sebelahnya bapak-bapak yang akan segera pulang. Kemudian akan pindah di VIP segera.
Sebetulnya, jujur, aku merasa berdosa. Yang tadinya tidak jadi nepotisme eh jadi. Walau bapak tak cukup menerima kabar dengan jelas, berasal dari kawan yang mana. Mereka tidak konfirmasi apapun.
Oke, katakanlah kami nepotisme kami salah. Tapi mungkin kalian setuju kalau aku bilang "nepotisme adalah semacam kultur di Indonesia." Di luar itu, ya kami salah!
Tapi, pikiranku ke mana-mana. Soal kamar BPJS dan non BPJS adalah tidak dibedakan saya berani menuduh bohong. Jadi aku berpikir, ibuku adalah pasien BPJS yang mengambil jatah non BPJS melalui "orang dalam". Ya masa iya aku harus mempertahankan percaya bahwa rumah sakit sebesar ini hanya punya 6 kamar VIP? Nggak mau, nggak mau percaya.
Untuk itu aku meminta maaf kepada pasien antre lain sesama BPJS yang mungkin tahu dirinya dicurangi oleh kami dan misuh-misuh di belakang. Meminta maaf juga kepada sesama pasien BPJS karena kami tidak mengalami kesulitan kamar yang kalian alami. Menahan sakit dari rumah kalian. Dan semoga akan baik-baik saja.
Balik lagi sebelum cek laboratorium dan Rontgen, petugas mengatakan, benjolan ibu terlalu bahaya untuk ditunda operasi. Jika pecah, akan memperburuk keadaan.
Sudah ya. Aku masih diselimuti rasa bersalah. Tapi aku juga tetap berdoa untuk ibuku. Semoga lekas sembuh, ibuku.
Firlie N.H
20 Maret 2019
Rumah Sakit
Komentar
Posting Komentar