Nggak Suka Politik Boleh, Nggak Paham dan Nggak Peduli Politik Jangan

17 April 2019, sebutan asiknya "pesta demokrasi". Kebetulan ada artikel yang lewat di Twitter soal asal mula ada istilah pesta demokrasi. Era pak Soeharto. Upaya biar semua damai, tentram, tapi tetep yang menang udah tau dari awal. Kurang lebih gitu dah.

Hari ini adalah pemilihan umum. Hari libur! Tanpa ada tanggal merah di kalender tapi auto libur. Lima tahun sekali.


Ini adalah pemilu kedua aku. Lebih bersungguh-sungguh? Bisa jadi. Oiya, #SayaGolput . Harus diakui di era digital ini, yang memilih untuk jadi golongan putih terbuka di media sosial soal ke-golput-annya. Dalam artian tidak sembunyi-sembunyi dan malah berani ngomong. Sebetulnya aku bukan golput yang benar-benar golput. Maksudnya gini, aku tidak memilih capres-cawapres tapi aku memilih legislatif. Aku juga tidak punya alasan kuat sebetulnya. Antara nggak srek dan setengah hati. Duh... Maksudnya gini.
Aku tidak punya alasan atau dasar yang kuat untuk tidak memilih capres-cawapres tapi memilih calon legislatif. Kalau kata bang Pandji di bukunya, (tapi kata-katanya tidak persis sama) "nggak suka politik boleh, nggak paham dan nggak peduli jangan, karena itu semua akan balik lagi ke kita." Sepakat kok, harus paham dan peduli gitu kan, ngefeknya akan balik ke kita ini. Aku paham dan peduli tapi nggak begitu amat. Soal capres-cawapres aku tidak memilih. Alasan simpelnya nggak srek. Jadi sejak lima tahun lalu aku sudah menjadi golput yang aktif. Tetap datang ke TPS bukan yang ogah-ogahan. Buat para pelaku kecurangan, kemalasan ke TPS adalah lahan untuk mereka bisa pakai untuk mencari suara melalui jalan kecurangan. Capres-cawapres itu setiap hari disorot di TV dan sosial media, mereka bikin aku nggak rispek jadi ogah milih. Udah sebatas itu. Waktu itu aku berjanji pada diri sendiri untuk 2019 akan memilih presiden dan wakil. Akhirnya dengan riset sedikit lebih, justru bikin aku makin nggak rispek dan hasrat golput seperti 5 tahun lalu timbul. Duh sebetulnya aku sulit mau jelasin, ibarat netizen baca tulisan kalau aku bahas alasan tidak rispeknya, habis  aku kena omel mereka. Akan ada pembelaan ini itu dari yang berada di kubunya. Fanatisme di mana-mana, saling menjelekkan di mana-mana, tapi ya intinya gitu deh, aku muak dan tidak rispek. Capek. Semua punya sanggahan ini itu untuk masalah yang melekat di dirinya. Dan itu adalah hal yang tidak mungkin bisa di-stop. Ya akan gitu terus pokoknya.

Aku tahu, akan percuma kalau kita nunggu Satrian Piningit untuk datang. Itu nggak akan terjadi.

Legislatif milih, kenapa? Alasannya juga sederhana. Sesederhana aku tahu sosoknya. Sosoknya lebih dekat. Walau 2 di antara 5 yang harus dipilih aku awam. PDKT dengan calon di masa sekarang mudah lewat situs penyedia visi misi atau latar belakang mereka. Tapi saking banyaknya calon, efeknya mager buat kenal lebih dekat dengan mereka. Iya aku mager, alhasil DPRD kabupaten aku milih caleg yang pernah jenguk ibu aku di rumah sakit beberapa waktu lalu. Sorry, random, jangan dicontoh. Satu lagi yang sama masih bingung aku gunakan untuk mencoblos partai yang saya anggap punya kekuatan untuk menyampaikan keresahan aku, (mungkin).

Anyway, aku mau melatih diriku untuk lebih terbuka lagi untuk lebih peduli dengan politik secara bertahap. Walau akhirnya golput capres-cawapres lagi, aku merasa puas karena aku memilih golput dengan alasan yang lebih mendasar karena riset juga. Aku cukup memperlihatkan pada teman-teman, juga di dunia Maya bahwa aku golput. Tapi tak mau terlalu berisik. Ini sudah gaduh sekali. Aku gaduh tipis-tipis. Dengan orang tua aku juga terbuka, kena omel ujungnya. Katanya, kalau aku tidak memilih, nanti aku nggak punya presiden. Padahal kan nggak gitu. Aku sudah besar, mana bisa dibohongi. Malah justru aku yang mengingatkan, "kalau yang bapak dukung nanti kalah, presiden yang terpilih ya akan tetap menjadi presiden bapak."
Nggak adil kalau pihak kalah tidak mau sejalan dengan kebijakan dari presiden terpilih. Nggggggggg. Termasuk golput. Siapapun presiden terpilih, beliau juga presiden kami para golput.

Sudah banyak yang menjelaskan konsep golput itu seperti apa. Mungkin kalian sudah baca. Ada yang alasannya lebih rumit dan lebih sederhana dari aku. Ya sudahlah, selain golput tidak melanggar hukum, itu sudah menjadi alternatif dalam pemilihan walau banyak yang menentang. Menurutku buat apa ditentang, karena semua kan tergantung sudut pandangnya. Aku pernah baca soal tipe-tipe golput. Nah, sudut pandang menjadi variatif. Andai orang-orang ini lebih mau menerimanya. Nggak perlu setuju, cukup menerima yang kami jadikan pilihan yaitu golput.

Ini asik nih yang aku baca. Demokrasi tidak sesempit satu hari ini saja. Hari terus berjalan. Harusnya kita bisa berjalan beriringan dengan demokrasi setiap hari. Dalam demokrasi ada banyak ruang kebebasan untuk masyarakat. Hak hidup, hak merasa aman, dll. Nah!

Firlie NH
17 April 2019

Komentar

Banyak dibaca