Apa yang didapat setelah 19,5 Tahun Bersekolah (?)

Tiba di hari aku yudisium. Perasaanku sudah lega sejak urusan daftar yudisium dan wisuda selesai. Karena memang sangat panjang perjalanannya. Sudah dapat kartu alumni juga, sudah ada gelar barunya. HAHAHA. Apalah arti sebuah gelar? Menurut kalian apa artinya? Aku punya keresahan sendiri perihal gelar tapi mungkin akan aku tulis di lain halaman.  Mendapatkan gelar baru ini yang paling membuat tersenyum lebar adalah perjuangannya. Melewati semeter dua yang seperti baku hantam dengan tugas di kelas. Melewati masa-masa belajar penuh dengan miskonsepsi. Melewati penelitian yang nekat mengambil sesuatu yang tidak aku dalami sebelumnya. Melewati perjalanan panjang proses dari ACC pembimbing sampai berhasil daftar yudisium dan wisuda. Huh, melewati banyak hal.

Tulisan ini bukan part 4 dari "Perjalananku Menyelesaikan S2" sebetulnya. hehehehe. Yudisium hari ini tiba-tiba menyadarkan aku bahwa aku sudah bersekolah dalam rentang waktu yang lama. Aku masuk SD di tahun 1999 saat aku berusia 5 tahun 8 bulan, saat aturan harus masuk SD usia 7 tahun belum ketat. Tapi mungkin karena aku masuk SD swasta yang cenderung mempunyai kebijakan sendiri. Kelas 2 SD aku pindah ke SD Negeri untuk alasan menghendaki akan masuk SMP Negeri. Kala itu kebijakan pemerintah tentang sekolah yang sedang berjalan kurang lebih begitulah, mengharuskan dari sekolah negeri ke negeri sesuai wilayah asal sekolah. Mungkin kalian juga mengalami hal yang sama kalau kira-kira umur kita berdekatan. Masuk SD Negeri harusnya aku mengulang kelas 1 tapi entah bagaimana aku diijinkan sekolah untuk langsung bergabung di kelas 2.

Tahun 2005 aku lulus SD dan mendaftar di SMP Negeri favorit. Akhir-akhir masa studi di SD membawaku pada peringkat terbaik di kelas dan hal tersebut cukup mendorong aku untuk mendaftar di SMP favorit. Satu tahun sebelum lulus SD, pemerintah baru saja mengubah kebijakan perihal pendaftaran sekolah yaitu bukan dengan skor ujian akhir dan wilayah sekolah melainkan dengan ujian tulis. Kalau tahu ujungnya begini belum tentu aku akan pindah dari SD swasta ke SD Negeri.

Kebijakan satu demi satu berganti. Mata pelajaran Ujian Nasional (UN) SMP misalnya, aku adalah angkatan pertama yang ada ujian IPA-nya. Pada waktu itu UN adalah satu-satunya penentu lulus dan skor minimal di atas 4, aku lupa pastinya. Saat- saat yang mengerikan sekali. Aku yang sama sekali tidak berprestasi di bidang pelajaran apapun saat SMP -iya beda sekali dengan masa SD-ku- itu terasa berat sekali. Tertekan takut tidak lulus. Tapi tidak setertekan itu, sih. UN IPA-ku sangat berbeda dengan kisi-kisi yang diberikan. Aku ingat sekali. Rasanya soal sangat sulit. Ku hitung-hitung, hanya 50 % jawaban yang aku pastikan betul. Saat aku dinyatakan lulus, aku bersyukur sekali. IPA mendapat skor terendah, 7 koma sekian. Di antara jawaban asal ada juga yang betul ternyata. Bapakku lega sekali. Mengetahui anaknya sering rangking 7 dari bawah, takut sekali tidak lulus. Sekolahku lulus 100%. Sekolah favorit beban mungkin kalau sampai ada sedikit muridnya tidak lulus.

2008 atas izin Alloh aku diterima di SMK jurusan musik. Guru-guru sering heran mengapa aku alumni SMP tersebut dan justru melanjutkan SMK musik. Bagiku mengapa tidak? Sebetulnya banyak alasan untuk aku bisa sampai ke sana tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan. Masuk SMK bagaikan masa-masa penentuan, aku akan menjadi orang seperti apa. Bukan menjadi seorang apa lho ya. Walau orang tuaku sering mengeluhkan lingkungan yang dianggap "nakal", di sanalah aku belajar banyak hal melalui orang-orang yang beraneka ragam, tidak harus satu frekuensi tapi bisa hidup dan mengembangkan diri bersama-sama. Aku bilang seperti itu karena sepertinya lingkungan belajarku sebelum-sebelumnya terlihat di mataku mempunya frekuensi sama dan tampak seragam sekali sehingga aku sulit menempatkan diri. Ah, aku merasa tidak satu frekuensi tapi aku memaksa diri untuk berada di sana dengan frekuensi yang berbeda tersebut. Tapi aku tidak apa-apa. Aku tidak punya permasalahan di sekolah yang aneh-aneh selama sekolah. Masih masa pencarian, aku menolak sama, tapi mereka di mataku sama semua. Bingung kan? Aku pun bingung waktu itu. Tapi kan masih kecil, tidak ambil pusing karena belum paham.

2011 aku dinyatakan lulus SMK dan mendaftar di perguruan tinggi negeri. Kampus pertama tempatku daftar adalah pilihan orang tuaku. Jika aku tidak diterima, aku boleh masuk kampus yang aku ingin. Ternyata Alloh menghendaki aku untuk masuk di kampus pilihanku, bukan pilihan orang tuaku. Lagi-lagi orang tua tidak begitu menyukai lingkungan kampusku. Padahal di sanalah aku mengalami proses pendewasaan dalam pola pikir. Proses aku dapat merasakan, soal hasil tentu orang lain yang bisa menilai tapi aku juga tidak minta untuk dinilai sih, tapi maksudku aku mensyukuri proses-proses tersebut tanpa banyak berpikir opini orang lain tentang aku. Atau pandangan aku. Ya ada beberapa pihak memandang sebelah mata orang yang mengambil bidang akademik kampus di seni. Tapi ya sudah, itu tergantung orang yang menjalani. Pandangan orang lain biarlah tetap menjadi pandangan mereka tanpa perlu kita sibuk mengelak ini itu. Biasa aja, nggak usah baper maksudku.

Di saat kuliah, walaupun teman mainku tidak begitu banyak dan luas pergaulannya, aku punya pengalaman-pengalaman bekerja sama dengan orang lain, pergi sampai ke luar kota, ke luar negeri, masuk ke lingkungan suatu keluarga suku, dan masih banyak lagi. Sempat coba marching band, ikut lingkungan ngaji di kampus. Duh banyak dah. Tapi tidak begitu banyak sih.

Semester 5 untuk kampusku (dan jurusanku) adalah masa menentukan minat utama. Antara dua pilihan waktu itu. Dan akhirnya aku memutuskan serta mematok target selesai 5 tahun atau semester 10. Umumnya 8 ya? Aku memang tidak mau terburu-buru, aku mau asah skill semaksimal mungkin di kampus. Aku senang dengan guruku di sana.

Ternyata aku selesai di semester 9. Hehehehe. 2016 aku di wisuda. Mengalami masa-masa nganggur rasanya aku biasa saja. Tidak begitu resah. Sebelum wisuda aku juga punya kontrak untuk bekerja main musik di Bandung setahun 3x di Bandung. Selebihnya memang rasa nganggur. Orang tuaku khawatir dan justru mengungkapkan kekhawatirannya kepada mas. Mas menyampaikan ke aku. Untuk mengatasi keresahan tersebut ditambah dengan saran, mas menyarankan aku untuk mendaftar bekerja sebelum di 2017 melanjutkan S2. Aku sudah bahas di halaman lain soal ini. Yang akhirnya rencana ditambah takdir Alloh, aku diterima S2 di kampus yang sebetulnya bukan aku ingin.

5 Juli 2019, aku yudisium kelulusan S2. Aku punya gelar magister. Alhamdulillah. Mungkin kalian pernah dengar soal mempertanggungjawabkan perihal gelar? Mempertahankan perihal IPK? Akan aku bahas di lain halaman.

Jadi terhitung sejak SD aku sudah belajar di sekolah selama 19,5 tahun di usiaku 25 tahun (26 tahun di November).

Hal yang aku paham pasti, sekolah merangsang cara berpikir, pola pikir dengan sudut pandang orang yang belajar di sekolah. Sekolah punya budayanya sendiri. Walau tiap sekolah punya budaya spesifik, tapi sekolah secara umum punya budaya. Disiplin, seragam, interaksi sosial, guru-murid, kelas, bel sekolah, kelulusan, pendaftaran, skor, rapor, IPK, KHS. Itu semua tidak bisa lepas dari sekolah dan kampus. Selama menjalani masa-masa belajar di sekolah dan kampus ada proses-proses yang berkaitan dengan kata-kata yang aku tulis sebelum kalimat ini. Tentu saja pengalaman itu tidak didapat oleh yang tidak bersekolah. Belajar memang dari mana saja. Tapi yang aku garis bawahi adalah proses yang dilalui yang bersekolah tidak didapat yang tidak bersekolah.

Sekolah bukan untuk harus pintar matematika, bahasa Inggris, fisika, dan lain-lain. Aku percaya, untuk jangka panjang sekolah punya peran penting soal pembentukan menjadi pribadi seperti apa kita.

Sekolah di bidang apapun boleh saja berekspektasi atau mengarah ke pekerjaan tertentu tapi bagiku itu tidak selalu. Dan tidak ada ruginya. Bahkan ada ayat di Alquran perihal menuntut ilmu

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)
https://nuqtoh.com/4-ayat-alquran-tentang-menuntut-ilmu/#.XSMROFayR1s

Yang "ditinggikan" beberapa derajat oleh Alloh yang diberi ilmu pengetahuan. Supaya diberi ilmu pengetahuan tentu dengan cara menuntut ilmu. Bukan meninggikan derajat guru, dokter, pilot. Tapi para guru, dokter, pilot melalui proses menuntut ilmu.

Sekolah keguruan tetapi pekerjaannya ibu rumah tangga atau wirausaha. Sekolah akuntansi tetapi pekerjaannya di luar bidang tersebut. Tidak apa-apa, sudah mendapat keutamaan dari menuntut ilmunya. Bahkan terjun ke profesi apapun selanjutnya pasti masih ada proses belajar dan terus belajar.

Aku bersyukur sekali bisa belajar di lingkungan sekolah dan kampus selama 19,5 tahun. Indonesia yang pendidikan tidak murah, tidak semua mempunyai kesempatan sampai sejauh ini. Karena aku selalu lebih antusias dengan proses ketimbang hasil, aku tidak cukup merepotkan diri untuk memusingkan profesi aku ke depan sebagai apa.
Kalau filosofi Jawa "Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman", janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan, dan kepuasan duniawi. "Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara", manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak.
https://bukubiruku.com/filosofi-orang-jawa-tentang-kehidupan/

Jujur saja aku merasa lelah belajar di sekolah dan kampus. Banyak sekali target yang harus dicapai. Masing-masing punya tuntutan. Ada keinginan untuk sekolah lagi? Belum ada. Dorongan orang tua? Ada banget. Tapi menurutku juga, belajar di kampus itu masuk ke passion, makanya ada yang merasa belajar di sekolah dan kampus bukan beban. Bagiku beban, tidak punya passion, tapi aku berusaha. Pengalaman di sana tentu tidak terbayarkan oleh apapun.

Selagi ada kesempatan, waktu, biaya, kemauan, dan dukungan bersekolah lah :)

Firlie NH
8 Juli 2019

Komentar

Banyak dibaca