Part 3 - HAHA HIHI S2

Kini aku sudah punya kartu alumni dan di kartu tersebut ada namaku disertai gelar baruku.
Begitu banyak kelancaran dan kemudahan yang Alloh beri seperti yang aku ceritakan di part sebelumnya, akhirnya ada terjal menghadang. Bertubi-tubi. Ya Alloh. Aku anggap ini sebagai jawaban atas pertanyaanku, "Apakah aku berhak atas segala kemudahan ini?". Kalau kata bang Uus, komika, cobaanlah yang bikin kita merasa jadi ya seperti manusia. Sepakat. Karena manusia dan cobaan bukannya memang sepaket? hehehe

Datanglah hari ujian tesisku. Jum'at, 26 April 2016. Hari Jum'at, Insyaalloh penuh berkah. "Alhamdulillah", kata bapak. Aku masih punya banyak doa yang selalu ku panjatkan untuk kelancaran hari itu dan tentu hari-hari seterusnya.

Belum ada separuh perjalanan, ban motorku bocor. Hari itu aku sudah galau. Motor atau mobil? Mobil untuk mempermudah membawa barang bawaanku yang banyak dan akan tambah banyak karena setelah ujian aku akan membawa koreksian para penguji. Banyak banget dah pokoknya. Tapi sebetulnya naik motor pun bisa. Apalagi waktu berangkat aku butuh cepat sampai. Perjalanan mobil akan macet, lama. Bocor. Tiba-tiba banku mleyot gitu, tidak stabil dan aku menepi. Cobaan pertama hari itu telah datang. Dekat tempat aku menepi sudah ada tukang tambal ban. Ku temui bapak pemiliknya dan meminta tolong untuk menambal ban motorku. Aku duduk sambil berpikir, menunggu atau pergi dengan ojek online. Ujian masih satu jam lagi, tapi takut terburu-buru. Akhirnya aku memesan ojek online. Sambil menunggu kedatangannya aku berucap dalam hati, "Wah, ada satu cobaan datang, berasa manusia. Terima kasih Alloh, lancarkan ujian Firlie hari ini." Tapi, untuk cobaan yang sangat tak terduga ini masih diberi kemudahan Alloh dengan aku tidak menuntun motor sama sekali alias sangat dekat dengan tambal ban. Masyaalloh.

Tiba di kampus untuk ujian. Cukup mengurangi rispek untuk semua dosen yang datang terlambat. Ujianku mundur satu jam dari yang sudah dijadwalkan. Tapi, ya sudahlah. Mungkin itu cobaan tipis-tipis selanjutnya dari Alloh. Aku baik-baik saja. Ada satu teman dekatku yang datang dan masuk ke ruang ujian. Mungkin kalau orang lain yang ujian akan banyak yang datang. Selain aku tak banyak memberi kabar, aku juga jarang datang ke ujian teman-temanku. Aku kira malah tidak akan ada yang ikut datang. Terima kasih, kawan!

Selesai ujian aku dinyatakn lulus tetapi ya revisiku banyak sekali dan boleh dilakukan maksimal tiga bulan. Aku dengan sangat terbuka untuk mau merevisinya dengan sungguh-sungguh. Ya bayangin aja, satu tesis yang sudah pasti nggak seberapa, dibabat habis oleh empat dosen yang matang soal beginian. Mereka doktor dan profesor.

Perjalanan tidak sampai di sini, dong. Seperti yang sudah aku share di part sebelum-sebelumnya.

Malas revisi di awal-awal selesai ujian. Semacam sindrom mungkin (?) Ya, seperti ingin istirahat sejenak. Tapi itu salah satu penyesalan, karena memangkas beberapa hari dan saat memulai kembali yang terjadi adalah butuh pemanasan otak lagi.

Mei sudah datang. Jadwal yudisium sudah ada. Lebih awal dari yang diperkirakan karena akan memasuki libur lebaran. Tapi kalau dihitung-hitung campur logika, aku punya waktu yang cukup untuk bisa yudisium di bulai Mei.

Dua minggu setelah aku menyelesaikan revisi, aku menghadap penguji utama. Jadi gini, langkah meminta pengesahan adalah dari penguji utama, kemudian pembimbing, sekretaris penguji, ketua penguji dan yang terakhir adalah direktur.

Dua minggu revisi bisa masuk lama dan cepat. Tapi ya sudah, aku merasa punya waktu untuk menemui 4 dosen tersebut (sebelum direktur). Penguji utamaku punya cara sederhana untuk mengoreksi revisi, yaitu kepercayaan. Rispek, pak! Aku juga jujur kok. Beliau melempar pertanyaan terutama yang tidak terjawab aku saat ujian sebagai koreksian apakah aku sudah mempelajari pertanyaan beliau yang memang harus ditambahkan ke dalam tesisku. Semua sudah aku urai, aku tunjukkan letak revisi dari beliau. Ternyata masih ada yang belum pas. Akhirnya aku diminta untuk datang lagi besok, beliau akan menandatanganinya. Benar-benar besok, bukan lusa atau minggu depan. Aku diinfokan jadwal dan semua beres. Baik dan rispek kepada beliau. Kemudahan Alloh menyertai.

Dosen kedua adalah dosen pembimbing yang sejak bimbingan penyusunan, beliau cenderung santai dan tidak serajin itu untuk membaca tesisku secara menyeluruh. Oiya, bahkan beliau tidak memberi revisi apapun. Tidak ada coretan. Bahkan ketika aku kesulitan menjawab saat ujian, beliau membantu. Rispek juga! Akhirnya di pertemuan pertama, lembar pengesahan aku langsung ditandatangani. Senang.

Dosen ketiga adalah sekretaris penguji. Ini adalah cobaan terberat yang aku hadapi selama aku berkuliah di sana. Lebay. hahahaha. Tapi aku betulan. Dosen ini berhasil bikin aku menangis beberapa kali. Ini pernah aku bahas di podcast-ku hehehehe. Apa yang terjadi. Ah rasanya untuk menceritakan kembali aku sudah lelah, takut sedih lagi. Tapi aku ingin sharing. Tentu aku tidak akan menyebutkan namanya.

Hari itu aku datang untuk menemuinya. Beliau sedang keluar kota dan melalui chat via whatsapp beliau mempersilakan aku untuk meninggalkan hasil revisi di atas mejanya. Aku berpikir, proses berkas ditinggal akan memperlambat proses ini selesai. Kembali ku cek kalender untuk memastikan aku masih punya waktu. Iya, aku masih punya. Masih sangat optimis.

Aku memang tidak punya kedekatan emosional dengan beliau. Sungkan untuk menagih apakah sudah dikoreksi atau belum berkas aku. Sekitar empat hari, waktu yang lama dibanding dosen sebelumnya, aku coba untuk menghubungi dan menanyakan. Aku diminta untuk menemuinya besok. Keesokan harinya, aku tunggu beliau. Beliau memang sibuk sekali, sehingga molornya bisa satu jam atau lebih. Akhirnya aku menghadap beliau. Berkas revisi aku tertinggal di dalam mobil. Sampai di ruangan lagi, berkas aku masih bersih tanpa coretan. Hari itu sedang berpuasa, tapi dalam hatiku sudah bagai dikasih korek yang menyala, panas, terbakar. Beliau mengatakan seharusnya aku meninggalkan berkas yang dicoret-coret beliau sebelumnya sebagai acuan pengoreksian. Itu adalah hari kelima setelah peletakan berkas revisi, ada empat hari berlalu yang apa susahnya untuk whatsapp aku dan bilang beliau harus melihat coretannya sendiri. Aku pasti dengan senang hati datang membawa. Sebetulnya di hari aku meletakkan berkas, aku membawa berkas lama, karena memang katanya ada dosen yang ingin melihatnya. Sedang aku bertemu beliau saja tidak. Mana ku tahu. Aku nggak rispek, berkasku bersih setelah lima hari padahal bisa memberi kabar jika ingin aku membawa berkas lama. Akhirnya aku menjelaskan dan menunjukkan koreksian yang beliau beri di hari ujian. Tapi banyak titik yang coretan baru di hari itu. Merepotkan dan tidak konsisten untuk sesuatu yang sudah di-okekan oleh penguji utama. Bahkan, judul aku dicoret karena menurut beliau kurang pas. Mana aku iya iya aja, waktu sudah di dalam mobil aku kesal sambil pukul-pukul setir mobil (tapi habis itu istigfar), karena dengan dicoretnya judul sama saja dengan aku harus mengulang mencari tanda tangan dari penguji utama. Untuk ketemu dosen itu tidak mudah. Aku diminta untuk memperbaiki dan senin meletakkan kembali di mejanya. Sekadar konfirmasi aku menanyakan kapan aku bisa menemui beliau lagi dan aku menyatakan targetku yang ingin yudisium di bulan Mei. Aku sempat menyampaikan hal tersebut. Dan beliau justru mengatakan "Ini attitude, mbak." Beliau menceritakan jika dia berada di situasi seperti aku justru akan heran jika langsung ditandantangai oleh pembimbing dan akan meminta pekerjaannya dikoreksi lebih lanjut. Sepertinya terjadi salah paham tetapi aku tidak bisa serta merta meluruskan. Semoga kalian mengerti apa yang aku maksud. Andai beliau lebih mau memahami lebih jauh, aku sudah bersedia menunggu berhari-hari tentu aku menerima sekali untuk revisi berikutnya. Sebagai mahasiswa aku berusaha jujur bahwa aku punya target sendiri dan meminta bimbingan agar aku bisa menyelesaikan tepat waktu sehingga aku sampaikan. Entah gimana juga sih kalimatku sehingga yang terjadi malah seperti itu. Aku merasa bersalah dengan kejujuran tersebut. Tapi kok kalau dipikir-pikir dosen lain bisa support dengan maksimal sebelum aku menyampaikan target tersebut. Dosen sebelumnya malah yang selalu mengakhiri percakapan dengan "segera diselesaikan, mbak. Jangan lama-lama." Nah kalau yang ini, seolah tidak support aku. Di mataku beliau punya attitude tapi bagai tak punya perasaan.

Oh Alloh, waktu itu aku mulai merasa hancur sambil masih sering melihat ke kalender di ponsel untuk sambil membayangkan "apa aku bisa yudisium bulan ini?". Waktu itu memang mepet sekali, tapi aku masih optimis.

Aku menangis sesenggukan berulang kali untuk situasi itu. Setiap hari aku sampaikan ke ibuku bahwa aku dalam kondisi yang sulit. "Besok anaknya dipersulit juga itu sama orang lain", gitu tanggapan ibu atas ceritaku. Atau masku yang heran karena aku tak kunjung selesai urusannya. "Iya nih, dosen." "Loh, bilang dong kamu mau yudisium Mei." Ternyata itu hal wajar. Masku dosen, dia tahu rasanya jadi dosen yang mengoreksi dan ternyata hal yang ku lakukan adalah wajar.

Berat sekali memang rasanya. Di antara banyak hal Alloh kasih kemudahan, aku tidak penah menyangka kesulitan itu akan datang seperti ini. Aku tidak siap. Kecewa, sedih, marah, rasanya campur aduk. Ke siapa aku juga tidak tahu. Semua takdir Alloh.

Aku merasa sangat terbuka dengan revisi tapi seolah aku tidak ingin melakukannya secara maksimal, padahal bukan begitu maksudku. Sebetulnya ini adalah kali kedua aku mendapat kalimat soal "attitude". Ya sudahlah, aku justru mempercayai beliau bahwa aku tidak ber-attitude. Ya bagiku perasaan lebih penting.

Hari akhirnya berlalu, terhitung hari senin aku membawa berkas revisi ke meja beliau, di hari Jum'at Minggu depannya aku mendapat tanda tangan beliau. Hitung sendiri saja, ya. Mudahnya, dosen lain dua hari, beliau dua Minggu. Itu pun diakhiri dengan tanpa pertemuan. Aku masuk ke ruangannya dan disuruh keluar. Aku belum berkata apa-apa, sudah diminta keluar karena sepertinya beliau ada keperluan. Pada saat itulah optimis targetku untuk yudisium di bulan Mei berakhir. Aku masih harus menyelesaikan runtutan tanda tangan serta printilan-pritilan lain yang harus aku selesaikan di hari Jum'at dan Senin. Tidak masuk akal rasanya, tapi masih harus aku hadapi. Tiba-tiba beliau meninggalkan ruangan tanpa memberitahu soal apapun kepadaku. Nangis lagi. Aku hubungi lagi beliau dan beliau mempersilakan aku untuk mengambil berkas yang sudah beliau tandatangani. Aku senang karena aku tidak bertemu lagi dengan beliau.

Dosen berikutnya adalah ketua penguji. Dosen yang selalu mengajar kelasku sejak semester satu dan aku tidak pernah menaruh rispek kepada beliau. Alasannya adalah karena sifatnya yang kurang menerima adanya mahasiswa aktif di kelas. Mahasiswa aktif dan tidak di pihaknya nampaknya beliau tidak suka. Jujur, seperti itu yang aku rasakan sebagai mahasiswa di kelasnya. Beliau sangat sibuk, sulit ditemui, dan mayoritas mahasiswa tidak pernah membuat janji sebelumnya melainkan menunggu beliau di ruangannya jika ingin bertemu. Kesulitan di dosen sebelumnya membuat aku lebih siap untuk menemui dosen ini. Tapi sepertinya Alloh tahu aku sangat menderita, Alloh menghadirkan berbagai kemudahan lagi. Menunggu berjam-jam, hari kedua aku berhasil menemui beliau. Beliau ternyata selalu mengkoreksi di tempat alias langsung. Sembari membuka catatan-catatan yang sudah beliau tulis di bagian sampul saat selesai ujian aku sejak awal. Mudah, cepat, dan tepat. Rispek! Dosen yang sebelumnya aku tidak pernah rispek, ini adalah kali pertama aku rispek ke beliau. Aku keluar ruangan beliau dengan senyum. Walau tidak langsung ditandatangani karena masih ada yang terselip belum aku revisi sesuai saran beliau, yang perlu direvisi lebih jelas. Bahkan beliau berani dengan jelas menyebutkan untuk mempersilakan aku menemui beliau besoknya. Lebih tepatnya hari Senin karena waktu itu adalah hari Jum'at. Semakin jelas aku tidak bisa yudisium bulan Mei. Aku bersyukur, setelah rasa sakit yang amat sangat di hari sebelumnya, hari itu aku mulai bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku mulai bangkit dan percaya, semua atas kehendak Alloh. Aku sudah berusaha dengan segala yang bisa aku usahakan.

Hari Senin di pagi hari, aku dan seorang teman sudah stand by menunggu beliau di depan ruangannya. Beliau belum datang, kami selalu sabar menunggu. Akhirnya setelah sekitar dua jam kami menunggu, beliau ke ruangnnya. Hari itu beliau menandatangai tesis aku setelah ada pengecekan kembali dan semua sudah sesuai. Aku baru saja mau mengucapkan permintaan maafku ke beliau selama menjadi mahasiswinya, tapi justru beliau yang mengucapkan permintaan maaf ke aku. Aku berkaca-kaca. Beliau baik sekali. Dulu aku tidak pernah rispek ke beliau kini di akhir masa studiku di sana beliau menunjukkan dirinya yang sesungguhnya. Beliau orang baik. Banyak hal yang beliau tanyakan kepadaku hari itu. Seperti pekerjaan orang tuaku, kesibukanku, bahkan mengucapkan salam untuk ibuku. Terima kasih banyak, Bu :) Penguji utamaku juga mengucapkan salam untuk orang tuaku. Mereka teladanku. Jika suatu saat aku menjadi seperti mereka, kebaikan-kebaikan merekalah yang akan aku jadikan contoh untuk bisa menyayangi mahasiswanya. Terima kasih atas kebaikan bapak dan ibu dosen kepadaku. Kalian membawa kesan baik sekali di masa akhir studiku. Semoga Alloh selalu menjaga kalian dari mara bahaya. Sehat selalu. Aamiin.

Perjalanan setelah itu lancar semua. Aku akan yudisium periode Juni dan wisuda di bulan Agustus. Meleset dari target. Aku coba mencari-cari penyebab aku gagal yudisium Mei dan wisuda Juni selain dosen yang mempersulit aku, tapi kok rasanya tidak ketemu ya. Aku rasa ya memang hanya satu itu alasannya.



Ini sudah Juli dan aku belum yudisium. Kampus mengundurkan jadwal yudisium Juni hingga ke awal Juli oleh karena jadwal kampus yang tidak memungkinkan. Urusanku sudah selesai. Pestanya saja yang belum. Aku sangat bersyukur. Alhamdulillah. Terima kasih, Alloh :)

Ada persamaan yang aku rasakan dan hadapi setelah lulus S1 dan S2, nganggur. Perjalanan S2 yang terjal ini sudah selesai. Ya walau saat ini pengangguran, hmm pekerja tipis-tipis sih. Mungkin ada hal-hal menyenangkan lain yang bisa aku bagi.

Terima kasih banyak sudah mau membaca sejauh ini. Semangat, ya!

Firlie NH
1 Juli 2019

Komentar

Banyak dibaca