EMANG IPK, CUMLAUDE, DAN GELAR PERLU DIPERTANGGUNGJAWABKAN?
Daripada nganggur, aku kuliah S3 aja ah!
Ada kata "aja ah" bukankah itu sangat menyebalkan? Terkesan menyepelekan atau menganggap itu gampang. Bagiku seperti itu. Kalimat itu terinspirasi dari pengalamanku ketika duduk bersama seorang kawan di sebuah tongkrongan. Situasinya biasa saja. Kami seumuran, tapi dia baru saja lulus S1 dan pada waktu itu aku sudah ujian tesis alias hampir lulus S2. Parah emang tuh orang, pilih berlama-lama di kampus yang bagiku penuh tekanan. Eh, ya brarti dia hebat sih. Rispek. Aku sih ogah. Ya tapi parah juga kuliah selama itu, batas waktu hampir 7 tahun mau dihabiskan. Eh, ya terserah dia sih HAHA. Tapi pada waktu itu intinya kami sama-sama pengangguran. Saling curi-curi pembicaraan setelah ini mau ngapain. Aku punya beberapa rencana tapi ya karena belum ingin cerita sana sini, aku bilang saja, "belum tahu. kalau kamu gimana?". Dia dengan santainya -dan aku tahu itu hanya bercanda- "S3 aja biar sibuk, nggak kelihatan nganggur". Kami saling tertawa. Sekarang kuliah S3 bisa buat joke. Tapi aku tidak tersinggung juga. Bahkan aku kuliah S2 alasannya adalah agar punya kesibukan. Kalau tidak salah itu juga itu adalah alasan utama, baru yang kedua ingin melanjutkan belajar melalui sekolah dan lain-lain. Sepertinya aku sudah pernah berpendapat di tulisan sebelumnya soal belajar di atau melalui sekolah butuh passion ya karena belajar tidak melulu soal sekolah dong. Sadar harus belajar walau tidak selalu lewat sekolah tapi pada waktu itu aku memutuskan untuk melanjutkan belajar melalui kuliah S2.
Sebetulnya yang aku ingin bahas itu soal IPK, cumlaude, dan gelar itu tidak penting. Tapi kok aku kebingungan sendiri. Mungkin kita sama-sama pernah dengar perihal "Buat apa IPK tinggi dibangga-banggakan, tapi nggak bisa mempertanggungjawabkannya?" atau "Duh, sebetulnya aku berhak nggak ya atas gelar sarjana yang aku dapat?" atau "Dosenku doktor tapi kok kaya nggak bisa ngajar to?"
Opini dimulai. Biarin aja semua orang yang punya kesempatan, waktu, dan biaya melanjutkan sekolahnya ke jenjang tertinggi sekalipun. Passion-nya belajar. Aku pernah matrikulasi di jenjang S2 karena berasal dari jurusan murni di S1 sedang S2-nya pendidikan. Matrikulasi aku pada waktu itu mengikuti mata kuliah seputar pendidikan yang katanya itu sudah dipelajari di S1 bidang pendidikan. Salah satu dosennya adalah prof. F mengajar Ilmu Pendidikan. Beliau menceritakan bahwa dari S1 sampai S3 kuliah jurusan murni dan memang menginginkan untuk menjadi profesor. Beliau mengatakan, suaminya yang berkomentar "yang benar saja?". Tapi aku menangkap bahwa belajar melalui sekolah adalah passion. Sekolah katanya tidak pernah ranking tapi cita-citanya memang ingin menjadi profesor. Jadilah profesor dan mengajar walau kuliah murni malah mengajar anak-anak pendidikan. Itu salah satu contoh belajar dengan passion. Selain itu ada juga yang katanya buat "formalitas". Mau nyemplung jadi pengajar (dosen) jadi kelar S1 bergegas S2 dengan embel-embel yang penting cepat lulus, tesis seadanya, ada juga. Belajarnya berasa bukan passion bukan? Ada profesi tertentu yang ingin dicapai. Sehingga muncul pula perkataan, "S2 itu gampang, ngono wae aku yo iso" (S2 itu mudah, begitu saja aku juga bisa). Padahal untuk orang yang (jujur saja) kurang passion dengan belajar di S2 tapi sudah mengambil keputusan untuk menjalaninya diniati belajar, aku menjalani dengan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh versi aku tentunya. Sesuai kemampuan dan faktor-faktor lain tentunya. Aku mengerjakannya dengan baik. Senang karena di dalam proses tersebut ada banyak hal yang aku dapatkan. Setelah aku tulis dan bagikan hasilnya (Insyaalloh jurnal publish), yang aku dapatkan bisa juga orang lain dapatkan. Itu bahagianya luar biasa. Perasaanku saat dinyatakan lulus melalui surat kelulusan adalah bangga pada diriku sendiri. Bagiku yang tidak passion, selalu merasa "apakah aku bisa melewati ini, mengerjakan ini?" dan ternyata bisa, aku bangga sekali pada diriku sendiri. Duh, gimana ya jelasin detailnya (?) aku bukan bangga sebagai lulusan S2 melainkan bangga atas keberhasilanku melakukan hal yang sebelumnya aku anggap tidak bisa aku lalui. Jadi ketika kata-kata perihal pertanggungjawaban atas gelar bagiku tidak penting dan tidak peduli. Masing-masing kampus mempunyai kriteria sendiri untuk kelulusan mahasiswanya. Misalnya gini deh, kampusku syarat lulusnya ada menjalani kuliah teori 40 SKS, penelitian, tesis, ujian, jurnal, dan toefl dengan poin tertentu. Penelitian bahkan bebas untuk menggunakan jenis dan pendekatan apa saja. Kualitatif, kuantitatif, research and development, maupun mix metode. "Wah lulusan S2 pasti bisa nih jadi dosen." Secara administratif itu betul, syarat dosen adalah lulusan S2 (katanya akan harus S3). Tapi, dosen itu juga bagian dari passion. Lulusan S2 tidak melulu profesinya akan menjadi dosen dan bisa jadi dosen. Karena untuk lulus dari S2 untuk mendapat gelas magister itu tidak ada tuntutan sama sekali untuk bisa mengajar. Atau yang lebih sederhana sebagai sarjana seni khususnya musik, "wah, bisa main semua alat musik nih pasti." Hey, itu bukan bagian dari sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas gelar sarjana seni kami karena untuk mendapatkan gelar itu saja kampus tidak pernah menuntut mahasiswanya untuk bisa memainkan semua alat musik. Inti yang ingin aku sampaikan, hal semacam itu, perkataan orang lain (yang bagiku sembarangan) jangan diambil pusing dan dikhawatirkan. Tapi juga ingin aku sampaikan bahwa bagi sarjana seni (musik) yang bisa memainkan semua alat musik adalah nilai lebih baginya. Gelar jangan dikambinghitamkan.
Perihal IPK. "Apakah IPK-mu yang tinggi itu bisa dipertanggungjawabkan?". Pertanyaan tersebut menimbulkan pertanyaan baru bagiku. "Pertanggungjawaban apa yang diharapkan oleh seseorang yang menanyakan hal tersebut kepada para pemilik IPK tinggi?". Skor, A B C D (ada A/B A- B+ dan seterusnya) aku sendiri kurang tahu bagaimana rumusnya? Masku adalah seorang dosen yang pernah membeberkan cara memperoleh skor akhir mahasiswanya. Diatur bobot ujian biasa, mid, UAS, tugas mandiri, kelompok, kehadiran, dan lain-lain. Dia tidak mengarang angka untuk memunculkan skor terakhir. Dosen lain mungkin punya patern-nya masing-masing. Atau mungkin juga kampus satu dengan yang lain punya cara tersendiri. Masih ditambah faktor kebiasaan dosen yang punya standar lebih tinggi sehingga setiap mengeluarkan skor tidak pernah berada pada skor tertinggi. Banyak faktor tersebut menghasilkan IPK yang tinggi dan tidak, bagiku bukanlah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Emang mau gimana? Dites satu-satu atau gimana nih? Mau jadi yang ngetes? Jadi biarin aja. Ada yang IPK rendah tidak perlu di-judge begitu juga dengan IPK tinggi nggak penting untuk dimintai pertanggungjawabannya. Tapi.... Tapi lagi nih, hubungannya dengan dunia kerja IPK seringkali dijadikan syarat. Ada IPK minimal yang harus dimiliki calon pegawai. Jadi hal seperti itulah yang menjadi salah satu faktor ambisi seseorang ingin mempunyai IPK yang tinggi. Padahal belajar adalah untuk mengerti, bukan untuk skor. Kesan "keren" oleh karena IPK tinggi juga masih ramai di masyarakat. Santai dikit napa (?) Itu bukan tolak ukur apa-apa.
Segitunya memang aku dengan sesuatu yang berbau angka atau berbagai gejala kuantitatif lainnya untuk kesimpulan tertentu, kebanggaan tertentu, kesedihan tertentu, dan malu tertentu. Rasanya pengen bilang, "stop generalisasi!".... ya itu kan udah bilang, fir!
Balik lagi ke awal, bisa saja aku sekolah lagi ke S3 entah untuk kebutuhan profesi misalnya, tapi ketika aku mengambil langkah tersebut aku akan berupaya dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya. Ulang lagi, bagi aku yang belajar bukan passion, dorongan dari diriku untuk lanjut sekolah sangat kecil tapi ada, ditambah dengan bapak dan beberapa pihak yang support.
Firlie NH
11 Agustus 2019
Ada kata "aja ah" bukankah itu sangat menyebalkan? Terkesan menyepelekan atau menganggap itu gampang. Bagiku seperti itu. Kalimat itu terinspirasi dari pengalamanku ketika duduk bersama seorang kawan di sebuah tongkrongan. Situasinya biasa saja. Kami seumuran, tapi dia baru saja lulus S1 dan pada waktu itu aku sudah ujian tesis alias hampir lulus S2. Parah emang tuh orang, pilih berlama-lama di kampus yang bagiku penuh tekanan. Eh, ya brarti dia hebat sih. Rispek. Aku sih ogah. Ya tapi parah juga kuliah selama itu, batas waktu hampir 7 tahun mau dihabiskan. Eh, ya terserah dia sih HAHA. Tapi pada waktu itu intinya kami sama-sama pengangguran. Saling curi-curi pembicaraan setelah ini mau ngapain. Aku punya beberapa rencana tapi ya karena belum ingin cerita sana sini, aku bilang saja, "belum tahu. kalau kamu gimana?". Dia dengan santainya -dan aku tahu itu hanya bercanda- "S3 aja biar sibuk, nggak kelihatan nganggur". Kami saling tertawa. Sekarang kuliah S3 bisa buat joke. Tapi aku tidak tersinggung juga. Bahkan aku kuliah S2 alasannya adalah agar punya kesibukan. Kalau tidak salah itu juga itu adalah alasan utama, baru yang kedua ingin melanjutkan belajar melalui sekolah dan lain-lain. Sepertinya aku sudah pernah berpendapat di tulisan sebelumnya soal belajar di atau melalui sekolah butuh passion ya karena belajar tidak melulu soal sekolah dong. Sadar harus belajar walau tidak selalu lewat sekolah tapi pada waktu itu aku memutuskan untuk melanjutkan belajar melalui kuliah S2.
Sebetulnya yang aku ingin bahas itu soal IPK, cumlaude, dan gelar itu tidak penting. Tapi kok aku kebingungan sendiri. Mungkin kita sama-sama pernah dengar perihal "Buat apa IPK tinggi dibangga-banggakan, tapi nggak bisa mempertanggungjawabkannya?" atau "Duh, sebetulnya aku berhak nggak ya atas gelar sarjana yang aku dapat?" atau "Dosenku doktor tapi kok kaya nggak bisa ngajar to?"
Opini dimulai. Biarin aja semua orang yang punya kesempatan, waktu, dan biaya melanjutkan sekolahnya ke jenjang tertinggi sekalipun. Passion-nya belajar. Aku pernah matrikulasi di jenjang S2 karena berasal dari jurusan murni di S1 sedang S2-nya pendidikan. Matrikulasi aku pada waktu itu mengikuti mata kuliah seputar pendidikan yang katanya itu sudah dipelajari di S1 bidang pendidikan. Salah satu dosennya adalah prof. F mengajar Ilmu Pendidikan. Beliau menceritakan bahwa dari S1 sampai S3 kuliah jurusan murni dan memang menginginkan untuk menjadi profesor. Beliau mengatakan, suaminya yang berkomentar "yang benar saja?". Tapi aku menangkap bahwa belajar melalui sekolah adalah passion. Sekolah katanya tidak pernah ranking tapi cita-citanya memang ingin menjadi profesor. Jadilah profesor dan mengajar walau kuliah murni malah mengajar anak-anak pendidikan. Itu salah satu contoh belajar dengan passion. Selain itu ada juga yang katanya buat "formalitas". Mau nyemplung jadi pengajar (dosen) jadi kelar S1 bergegas S2 dengan embel-embel yang penting cepat lulus, tesis seadanya, ada juga. Belajarnya berasa bukan passion bukan? Ada profesi tertentu yang ingin dicapai. Sehingga muncul pula perkataan, "S2 itu gampang, ngono wae aku yo iso" (S2 itu mudah, begitu saja aku juga bisa). Padahal untuk orang yang (jujur saja) kurang passion dengan belajar di S2 tapi sudah mengambil keputusan untuk menjalaninya diniati belajar, aku menjalani dengan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh versi aku tentunya. Sesuai kemampuan dan faktor-faktor lain tentunya. Aku mengerjakannya dengan baik. Senang karena di dalam proses tersebut ada banyak hal yang aku dapatkan. Setelah aku tulis dan bagikan hasilnya (Insyaalloh jurnal publish), yang aku dapatkan bisa juga orang lain dapatkan. Itu bahagianya luar biasa. Perasaanku saat dinyatakan lulus melalui surat kelulusan adalah bangga pada diriku sendiri. Bagiku yang tidak passion, selalu merasa "apakah aku bisa melewati ini, mengerjakan ini?" dan ternyata bisa, aku bangga sekali pada diriku sendiri. Duh, gimana ya jelasin detailnya (?) aku bukan bangga sebagai lulusan S2 melainkan bangga atas keberhasilanku melakukan hal yang sebelumnya aku anggap tidak bisa aku lalui. Jadi ketika kata-kata perihal pertanggungjawaban atas gelar bagiku tidak penting dan tidak peduli. Masing-masing kampus mempunyai kriteria sendiri untuk kelulusan mahasiswanya. Misalnya gini deh, kampusku syarat lulusnya ada menjalani kuliah teori 40 SKS, penelitian, tesis, ujian, jurnal, dan toefl dengan poin tertentu. Penelitian bahkan bebas untuk menggunakan jenis dan pendekatan apa saja. Kualitatif, kuantitatif, research and development, maupun mix metode. "Wah lulusan S2 pasti bisa nih jadi dosen." Secara administratif itu betul, syarat dosen adalah lulusan S2 (katanya akan harus S3). Tapi, dosen itu juga bagian dari passion. Lulusan S2 tidak melulu profesinya akan menjadi dosen dan bisa jadi dosen. Karena untuk lulus dari S2 untuk mendapat gelas magister itu tidak ada tuntutan sama sekali untuk bisa mengajar. Atau yang lebih sederhana sebagai sarjana seni khususnya musik, "wah, bisa main semua alat musik nih pasti." Hey, itu bukan bagian dari sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas gelar sarjana seni kami karena untuk mendapatkan gelar itu saja kampus tidak pernah menuntut mahasiswanya untuk bisa memainkan semua alat musik. Inti yang ingin aku sampaikan, hal semacam itu, perkataan orang lain (yang bagiku sembarangan) jangan diambil pusing dan dikhawatirkan. Tapi juga ingin aku sampaikan bahwa bagi sarjana seni (musik) yang bisa memainkan semua alat musik adalah nilai lebih baginya. Gelar jangan dikambinghitamkan.
Perihal IPK. "Apakah IPK-mu yang tinggi itu bisa dipertanggungjawabkan?". Pertanyaan tersebut menimbulkan pertanyaan baru bagiku. "Pertanggungjawaban apa yang diharapkan oleh seseorang yang menanyakan hal tersebut kepada para pemilik IPK tinggi?". Skor, A B C D (ada A/B A- B+ dan seterusnya) aku sendiri kurang tahu bagaimana rumusnya? Masku adalah seorang dosen yang pernah membeberkan cara memperoleh skor akhir mahasiswanya. Diatur bobot ujian biasa, mid, UAS, tugas mandiri, kelompok, kehadiran, dan lain-lain. Dia tidak mengarang angka untuk memunculkan skor terakhir. Dosen lain mungkin punya patern-nya masing-masing. Atau mungkin juga kampus satu dengan yang lain punya cara tersendiri. Masih ditambah faktor kebiasaan dosen yang punya standar lebih tinggi sehingga setiap mengeluarkan skor tidak pernah berada pada skor tertinggi. Banyak faktor tersebut menghasilkan IPK yang tinggi dan tidak, bagiku bukanlah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Emang mau gimana? Dites satu-satu atau gimana nih? Mau jadi yang ngetes? Jadi biarin aja. Ada yang IPK rendah tidak perlu di-judge begitu juga dengan IPK tinggi nggak penting untuk dimintai pertanggungjawabannya. Tapi.... Tapi lagi nih, hubungannya dengan dunia kerja IPK seringkali dijadikan syarat. Ada IPK minimal yang harus dimiliki calon pegawai. Jadi hal seperti itulah yang menjadi salah satu faktor ambisi seseorang ingin mempunyai IPK yang tinggi. Padahal belajar adalah untuk mengerti, bukan untuk skor. Kesan "keren" oleh karena IPK tinggi juga masih ramai di masyarakat. Santai dikit napa (?) Itu bukan tolak ukur apa-apa.
Segitunya memang aku dengan sesuatu yang berbau angka atau berbagai gejala kuantitatif lainnya untuk kesimpulan tertentu, kebanggaan tertentu, kesedihan tertentu, dan malu tertentu. Rasanya pengen bilang, "stop generalisasi!".... ya itu kan udah bilang, fir!
Balik lagi ke awal, bisa saja aku sekolah lagi ke S3 entah untuk kebutuhan profesi misalnya, tapi ketika aku mengambil langkah tersebut aku akan berupaya dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya. Ulang lagi, bagi aku yang belajar bukan passion, dorongan dari diriku untuk lanjut sekolah sangat kecil tapi ada, ditambah dengan bapak dan beberapa pihak yang support.
Firlie NH
11 Agustus 2019
Komentar
Posting Komentar