KISAH CINTA BEDA AGAMA

Ini bukan kisahku. Ini adalah kisah seorang kawan yang sedang sedih berusaha menyelesaikan perasaannya perihal hubungan yang (hampir) berakhir setelah empat tahun mereka jalani. Empat tahun yang sia-sia (?) Tentu enggak.  Aku rasa tidak ada yang sia-sia dengan empat tahun perjalanan mereka. Anyway, aku baru tahu mereka sudah berjalan selama itu. Tanpa status. Semoga itu kata-kata yang pas untuk hubungan mereka. Mereka selalu saling senyum-senyum nggak jelas setiap kali ditanya pacaran atau tidak. Jadi mana aku sadar kalau mereka sudah empat tahun.

Semua berubah sejak si cowok memutuskan untuk dekat dengan wanita lain. Salah? Nggak tahu dah. Sepertinya "salah nggak salah". Selain memang tidak ada kata "pacaran" di antara mereka, mereka beda agama, mereka tahu nggak ada harapan besar bagi hubungan mereka ke depannya. Lantas apa yang membuat mereka bertahan selama ini? Sayang. Cinta. Hal sudah senaturalnya manusia rasakan dan nikmati. "Aku rindu parfumnya", gitu kata kawanku yang terduduk sudah beberapa jam lalu di depanku menceritakan keluh kesah perihal hubungannya. Dia sedang rindu. Sekitar dua Minggu lalu si cowok mengatakan pada kawanku, "aku dekat dengan wanita lain".

Setelah satu tahun terakhir temanku berusaha bersikap "atos" kepada si cowok sebagai salah satu upaya menyudahi hubungan mereka, ternyata hari itu datang juga. Temanku menyesal dan sedih. Tangisannya sejak pukul 19.00 hingga pukul 02.00 tak mampu menghapus lukanya  saat dia harus mendengar pengakuan si cowok yang sudah satu bulan dekat dengan wanita lain di luar kota sana. Perjalanan darat sembilan puluh menit hingga dua jam dari sini. Bagiku itu tidak perlu disesali. Sekarang boleh saja menyesal, tapi aku yakin akan tiba saatnya temanku merasa ini adalah keputusan yang baik. Katanya, dia menyesal sudah bersikap tak acuh selama ini. Kamu cuma butuh waktu. Tenang aja!

Punya solusi apa atas kisah beda agama? Sejak awal si cowok nggak mau berkomitmen. Komitmen pacaran. KJDA kalau kata anak jaman sekarang. Kita Jalani Dulu Aja. Mereka jalani selama empat tahun. Pernah sama-sama main hati dengan orang lain, tapi kondisinya tak pernah seserius ini katanya. Temanku yang selalu tampak ceria dan berhati tegar, nyatanya dia tetap perempuan. Punya sisi menangis untuk mengungkapkan kesedihannya.

Keduanya tidak ada yang mau pindah agama. "Udah, kamu aja yang pindah agama. Nggak bayangin aku, beberapa tahun ke depan aku lihat kamu udah nggak pakai jilbab dan pergi ke gereja. Tuhan satu. Agama di dunia ini aja yang bikin ribet, kan?!", kataku. Hehehehe. Maafkan atas saranku yang begitu. Tapi aku memang tidak mempermasalahkan seseorang berpindah agama, apalagi itu betul-betul didasari rasa yakin. Kami ketawa. Masih dengan kekakuannya, "Kenapa nggak dia yang ikut aku Islam hayo?", "Ya kan dia nggak mau. Kamu pikir-pikir lagi aja kalik, siapa tahu kamu yang mau pindah, apa salahnya?", jawabku.

Solusi itu bukan solusi yang terlintas di benak temanku. Nggak papa. Posisi dia sedang tidak netral. Hatinya sedang huru hara. Mana bisa berpikir jernih. Belum aja ding.

Aku tahu si cowok ini, tapi aku tidak tahu banyak. Malam itu aku berhasil mendengar beberapa pujian keluar dari mulut kawanku. Satu kata yang bisa mewakili pujian-pujian itu, "suami-able". Sesayang itu, secinta itu. Tapi kalau sudah begini, bagaimana? Nggak tahu aku. Aku belum pernah berpacaran dengan yang beda agama. Nggak sengaja emang belum pernah aja sih. Aku sulit sekali untuk membayangkan. Hubungan yang lama, tapi tak bisa ke pernikahan dengan seseorang yang suami-able.

Healing. Cara yang temanku tawarkan untukku saat keadaanku sedang porak poranda, coba aku tawarkan ke kawanku yang sedih perihal percintaan. Sebetulnya kisah cintanya semakin terasa berat karena bersamaan dengan permasalah-permasalahan lain yang datang ke dia. Aku coba tanya dia mau apa? pengen apa? Ternyata dia kesulitan menjawab. Iya, sama aja kek aku kemarin. Tapi tidak apa-apa. Dia hanya butuh waktu untuk dia tahu mau apa. Sampai akhirnya dia bilang ingin diet dan belajar nyetir mobil. Tapi keinginannya diikuti dengan excuse ini itu segala macam. Ah, kelamaan! Kebanyakan mikir. Lakuin dulu aja napa! Hurry up hurry up! Traveling dia suka tapi butuh duit. Santai dulu, ntar juga bisa pergi. Tenang aja!

Belum ketok palu mereka berpisah, katanya. Mungkin emang nggak perlu diketok palu untuk menyudahi hubungan yang mereka nggak pernah awali. Doaku, kawanku tenang, bahagia, damai, bisa tahu dan memulai sesuatu yang dia suka. Banting setir mah banting setir aja. Jangan takut untuk memulai sesuatu yang baru dari nol. Dinikmati prosesnya. Mikir boleh, dilakuin dari sekarang harus!

Firlie NH
2 September 2019

Komentar

Banyak dibaca