PENGANGGURAN, TAPI CANTIK

"Pengangguran, tapi cantik" adalah kalimat yang sedang aku tulis di status whatsapp, bio twitter, dan instagram. Nggak penting banget ini kayaknya ya aku bahas (?) Tapi aku merasa sedikit penting dan berharap yang baca bisa komentar atau sekadar sharing apa pendapat mereka tentang kalimat yang aku buat setelah aku ceritakan alasannya. Siapa tahu kan, ada yang tertarik untuk membahasnya lebih lanjut. 

Jujur saja, sebagai freelancer alias kerja nggak tetap, kadang nggak kerja juga, aku nggak segan untuk menyebut diriku ini pengangguran. Kata itu cukup menyingkat percakapan daripada menjelaskan "kadang bekerja" versi aku itu kerjanya ngapain. Kurang lebih seperti itu. Padahal aku lulusan S2. Terus kenapa? Ada beban? Ada! Tapi suka ku tutup-tutupin. Ekspektasi terdekat orang-orang itu lulusan S2 adalah akan menjadi dosen. Sering sekali ada di situasi diberi pertanyaan, "Ngajar di mana?". Mau jawab apa, ya (?) Yang aku rasakan itu tidak pernah terucap secara langsung dari orang lain tapi rasanya seolah mereka ingin mengatakan, "Yaela nganggur juga ujungnya, ngapain S2?" Tapi lagi-lagi itu cuma perasaanku, maka aku bilang ada beban. Aku sibuk mencari pembenaran dengan, "Biarin nganggur, masih bisa makan, jajan, happy." Sadar juga aku pemalas tapi mau nggak ngeluh waktu akan beli senar, bow, fitting up, dll. Becanda emang hobiku. Aku juga pernah judge diriku sendiri manusia tanpa ambisi. Ya, bener sih emang. HAHAHA. Sampai ada di situasi "ni bener-bener besar pasak daripada tiang dah!". 

Masuk 2019 aku beranikan diri untuk lepas minta uang bulanan ke bapak. Nekat aja sih waktu itu aku membuat keputusan. Bahkan bapak nggak sadar sampai masuk bulan April kalau nggak salah. Iya bapakku tadinya selalu memberi uang bulanan dengan jumlah tertentu, nggak banyak, selalu kurang tapi aku punya kerjaan sampingan jadi selalu cukup, dan teknisnya selalu aku yang minta di awal bulan. Sehingga saat aku berhenti minta, nggak serta merta bapak langsung sadar kalau aku sudah tidak minta uang bulanan. Buat aku yang super bergantung dengan orang tua, ini adalah langkah yang besar. Waktu itu belum lulus S2. Tapi situasinya sama kok, kek nggak ada beda sebelum dan sesudah lulus. Bapakku sadar ketika mas membahas apa ya aku lupa, tapi intinya aku jadi bilang kalau sejak Januari sudah tidak minta uang bulanan. Mas bilang aku masih berhak karena belum menikah. Ku jawab, "aku mau berusaha". Sampai sekarang aku masih berusaha. Berusaha tenang. Berusaha mikir tapi juga masih ingin menikmati kepanikan ini dalam diam dan tulisan seperti yang aku lakukan sekarang. Di sisi yang berlainan aku merasa kurang bersyukur nih aku kalau sudah merasa besar pasak daripada tiang. hehehe

Pembenaran lain yang aku lakukan adalah dengan "branding" atau tidak segan untuk "umuk" (bahasa njelei dari kata "menyombongkan") pada khalayak umum bahwa aku adalah seorang pengangguran. Setiap ketemu kawan bapak atau ibuk, jika muncul kata "pengangguran" dari mulutku sambil aku tertawa, mereka justru sibuk menjelaskan bahwa aku mengajar di sini situ ya yang bagiku itu masih serabutan dan belum cukup tenang untuk aku merasakan besok akan ganti senar dan aku baik-baik aja tinggal beli. Senar cello mahal men! Kunci untuk main cello dengan happy memang dari dulu tidak pernah berubah: KAYA. Tapi aku masih idealis dengan nggak ngoyo perihal cari uang melalui musik. Aku lebih mau memikirkan cari peluang lain untuk bisa kaya agar main cello dengan happy. Masih bertahan dengan statement tersebut yang pernah aku tulis di beberapa judul lain. Namanya juga "cari" peluang alias belum dapat, belum KAYA. 

Tapi sebetulnya di balik kalimat itu, intinya adalah aku sedang nge-branding diriku sendiri bahwa aku adalah seorang pengangguran. Iya, aku tahu itu memang kenyataan, nggak usah dibranding itu juga tampak nyata. Aku sadar diri aku terlalu menampakkan atau semacam menggarisbawahi di hadapan orang-orang bahwa aku pengangguran adalah agar situasi yang muncul ke permukaan adalah penganggurannya bukan lulusan S2-nya. Karena di awal aku sangat terbuka untuk menganggap itu adalah beban, aku berusaha menenangkan hatiku dengan berusahan menutupi ke S2-an ku. Ini terlihat lebay gitu nggak sih? Aku merasa lebay, tapi ternyata aku memilih untuk melakukannya. Bahkan jika bertemu orang baru aku rasanya nggak ingin mereka tahu aku lulusan S2 tapi mereka kudu tahu aku adalah pengangguran. 

Ada satu hal lagi perihal branding yang nggak penting (karena ya aku siapa anjir?!), aku nggak ingin S2 membuat orang baru yang mungkin aja kamu jodohku, mundur cuma gara-gara pendidikan terakhirnya di bawah S2. Memang sih belum tentu begitu. Tapi aku ingin bilang bahwa itu nggak penting sama sekali. Kenapa? Karena sampai sekarang rasanya aku nggak pasang standar apa-apa juga belum ada yang khitbah. Oh Tuhan! Jujur sekali tulisanku. HAH!

Menurut kalian nge-branding diri sendiri itu perlu tidak? Kalau perlu, bagaimana cara kalian branding diri kalian?

Firlie NH
25 September 2019

Komentar

Banyak dibaca