JUJUR DIMULAI DARI KE DIRI SENDIRI
Sering muncul himbauan di masyarakat, "Mulailah dari diri kita sendiri!".
Biasanya yang dimaksud adalah ketika kita memberi sebuah anjuran kepada orang lain sebaiknya kita mulai dulu dari diri kita sendiri. Misalnya membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan, meletakkan barang di tempatnya, dan lain-lain. Sebetulnya bisa juga sih untuk banyak hal atau mungkin semua hal.
Aku lagi resah. Banyak banget yang aku resahkan. Aku sering tidak jujur dengan diriku sendiri. Tapi aku sadar dan segera aku betulkan. Konteksnya ini lagi ngobrol sama diri sendiri sih. Aku bikin statement kepada diriku sendiri yang tidak jujur, maka akan ada sisi lain dari diriku sendiri muncul dan mengatakan, "Jujur! stop untuk bohong. Itu bukan yang sebetulnya kamu rasakan!". Mungkin kalian pernah merasakan hal yang sama (?) Akhir-akhir ini aku cukup sering begitu. Balik ke himbauan yang aku sebutkan sebelumnya, ya jujur juga dimulai dari kita sendiri. Himbauan itu seolah mendorong kita untuk menjadi seorang yang jujur, jujur kepada orang lain. Opiniku, sebelum jujur kepada orang lain, udah seharusnya kita jujur sama diri kita sendiri.
Mungkin, himbauan ini juga lagi hits di masa anak-anak muda banyak yang galau atau baper, "Cintailah dirimu sendiri!". Himbauan itu pas untuk yang baru putus cinta, disakitin, dan nggak lekas move on jadinya malah suka menyiksa diri lewat kesedihan, makanya orang-orang akan bilang kalau kita berhak bahagia dan jangan lupa mencintai diri sendiri. Itu bener banget sih.
Jujur juga sama. Jujur ke diri sendiri itu penting. Kalau nggak bahagia nggak usah pura-pura bahagia. Kecewa ya bilang kecewa. Marah ya harus diakui. Benci pun sama. Baper, galau, semua deh. Yang perlu dikontrol adalah cara menyikapinya atau melampiaskannya. Sama kaya orang tersinggung. Tersinggung hak semua orang, menyikapi ketersingguannya adalah hal yang lain.
Aku harus jujur kebingungan waktu isi kolom pekerjaan karena baru saja aku selesai mengurus perpanjangan SIM A ku. Sebentar lagi aku ulang tahun. Beneran bingung, aku nggak punya pekerjaan tetap. Pada akhirnya diisi juga dengan pekerjaan yang agak mendekati dengan kegiatan sehari-hariku meskipun nggak betul-betul sesuai.
Nggak punya pekerjaan. Ya, jujur. Itu salah satu keresahanku sekarang. Aku ingin bisa menabung untuk masa depan. Aku juga punya keinginan untuk suatu saat aku yang menghidupi kedua orang tuaku di masa tua mereka. Menuju 26 tahun kalau dari segi usia sudah lebih dari matang untuk memulai karir dalam bekerja. Ya, ada yang bilang juga sudah kelewat matang untuk menikah. Kalau ditanya pun aku akan jawab sudah siap menikah. Iya aku tahu berat, hidup sendiri juga berat, semua berat, nggak ada yang gampang, kita menjalaninya aja dengan gimana. Aku punya usaha kecil-kecilan, mau aku besarkan belum tahu caranya. Makanya pengen punya uang banyak agar punya paling tidak modal uang untuk membesarkannya. Akhirnya aku berusaha mencari pekerjaan. Malas, rasa malasku besar sekali. Rasa malasku pernah membuat aku mengabaikan tawaran dosen di sebuah kampus di Bandung. Rasa malasku juga penghambat aku untuk apply CPNS menjadi dosen. Ya, gitu deh. Ini aku berusaha jujur. Nggak punya rasa percaya diri yang kuat untuk mempersilakan diriku terjun menjadi dosen. Mungkin belum. Aku juga nggak tahu (jujur ini). Aku suka berbau menulis, akhirnya aku mencari pekerjaan editor yang sekiranya bisa aku kerjakan di rumah. Tapi adanya pekerjaan tetap di sebuah kantor sebagai editor dan luar kota. Ah, malas. Iya! Semalas itu memang.
Sampai akhirnya aku beranikan diri mendaftar dosen di sebuah kampus swasta di Sukabumi. Aku daftar di hari terakhir pengiriman surat lamaran kerja. Nggak berharap banyak. Rasanya masih otw yakin alias belum yakin mau jadi dosen. Pantas enggak? kok kayaknya enggak. HAHAHAHA.
Aku tahu aku nggak bisa gini-gini aja. Kebetulan dapat tawaran pekerjaan di luar Jawa yang gajinya dikit lagi nyenggol dua digit. Tapi jauh. Tapi aku bersedia dengan segala resikonya seperti nggak betah atau apalah. Ibu juga setuju, bapak tidak. Akhirnya pekerjaan itu aku lepas. Sekarang aku masih gini-gini aja. Aku masih terpantau bahagia dengan kadar stress tertentu. Seberapa besar stressku mungkin agak bisa tercermin dengan kuisioner bidang kejiwaan yang semakin banyak jawaban "ya" berarti semakin nggak sehat jiwanya (singkatnya begitu), dan aku menjawab 13 "ya" dari 20 soal.
Bapak, nggak jujur sama diri sendiri. Dari situlah juga aku belajar soal jujur kepada diri sendiri. Aku tidak diijinkan bekerja di luar Jawa. Aku bilang, aku ingin memulai perjalanan karirku yang masih awang-awang itu di sana. Jujur saja aku nggak seyakin itu, tapi aku berusaha banget. Bapak nggak kasih ijin. Terlalu jauh. Ini hal kedua bapakku nggak jujur sama dirinya sendiri setelah jawaban nggak jujur soal pernikahan. Bapak belum siap aku tinggal untuk entah itu menikah atau berkarir di luar kota. Di mulut mereka selalu menjawab sudah siap, "Kalau sekarang ada yang melamarmu, kamu suka, ibuk boleh. Luar kota asal masih terjangkau jaraknya itu bisa dibicarakan. Perkara rumah itu nanti sambil jalan pasti bapak ibuk bisa mengurus rumah". Di waktu yang berbeda akan ada jawaban yang tidak bisa diprediksi, "Pak, Firlie sudah siap sih, mau dikenalkan dengan siapa yang sesuai bapak, Firlie bersedia", "Nanti dulu, walau kamu S2, tetap aja itu terdengar masih kuliah, nanti setelah lulus." itu ketika aku belum lulus S2. Setelah lulus S2, "Nanti deh kamu kerja satu tahun gitu, baru menikah.". "Pak, Firlie ditawari pekerjaan bla bla bla", "Jangan mbak, kejauhan". Apakah kalian bisa membayangan untuk situasi tersebut? Apa aku hanya boleh goler-goler di kasur dan urus rumah dan menyiapkan perlengkapan kebutuhan sehari-hari mereka? Ayolah pak, jujur sama diri bapak sendiri, kenapa Firlie jadi imbasnya (?)
Datanglah suatu masa aku bilang, "bapak ibuk harus jujur sama diri sendiri, emang belum mau nglepasin Firlie kan?". Mereka masih saja dengan argumen ini itu. Sabar katanya. Alloh mana ngasih yang enak-enak kalau hamba-Nya nggak berusaha juga kan? Alloh belum lihat apa-apa dari ikhtiarku :(
Aku ingin menikah. Ingin masak buat suami. Selain orang tuaku memang belum siap aku tinggal, hmm ya jujur aja aku belum laku. HAHA. Kan harus jujur hehehehe
Kalau sama diri sendiri aja nggak jujur, gimana ke orang lain (?)
Firlie NH
29 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar