POLA ANAK MENJAGA ORANG TUA
Tulisan kali ini aku ingin sharing seputar pengalaman aku sebagai seorang anak yang dihadapkan dengan kondisi kedua orang tua yang sakit. Istilah "dihadapkan" pada kalimat sebelumnya jangan artikan dengan ini adalah sebuah cobaan. Tapi berdasarkan yang aku alami, ketika orang tua sakit, akan ada situasi-situasi tertentu yang membuat kita belajar dan harus dibiasakan. Tulisan ini murni berdasarkan pengalaman. Aku belajar sambil jalan. Ada kemungkinan ini akan related dengan situasi kalian suatu saat nanti jika orang tua kalian sakit. Bisa juga nggak related sama sekali karena sakit tapi beda kondisi. Atau orang tua kalian keren karena sehat selalu di masa tuanya. Hebat sekali.
Sebentar lagi aku akan 26 tahun. Bukan mau pamer akan ulang tahun tapi untuk gambaran. Bapak dan ibuku sama-sama 54 tahun. Sepertinya itu usia relatif muda untuk orang yang sakit ini itu. Malah kayak judge mereka, tapi sering ketemu yang lebih tua dari orang tuaku justru sehat dan segar. Makanya aku sering ejek mereka seperti kakek-kakek dan nenek-nenek usia 64 tahun. Semua harus diladeni. Ejek sambil bercanda lho ya. Aku sayang dengan mereka. Ejekan tersebut ya ungkapan sayang sekaligus mengingatkan mereka bahwa ya mereka harus semangat dan jangan terus merasa sakit.
Aku tinggal dengan bapak, ibuk, dan adik laki-laki yang masih kelas 1 SD. Mas sudah menikah sejak 2011 sehingga sudah berpisah rumah dan tidak bisa bantu banyak perihal merawat bapak ibuk di rumah. Ada gunanya lho aku tidak menikah muda. Mas menikah usia 20 tahun. Aku sampai sekarang belum menikah. Ternyata skenario Alloh begini. Setidaknya ada yang merawat orang tauku sampai aku menikah nanti. Wallohu alam aku akan menikah kapan dan dengan siapa jadi belum ada bayangan bagaimana merawat kedua orang tuaku nantinya.
Sekitar 7 tahun lalu, 2012, ibuku untuk pertama kalinya tahu dirinya sakit diabetes melitus (DM), pabrik gula. Penyakit yang katanya keturunan (katanya juga teori tersebut sudah terpatahkan) dan tidak akan sembuh atau bahasa blak-blakannya adalah "cacat". Saat ibuku tes, aku berada di tempat yang sama sehingga aku juga melakukan tes. Aku cenderung rendah atau kerendahan kadar gula. Ibuku kelebihan sekali. Sekitar 300an kondisi belum makan. Masih cuek, cuek sekali. Bahkan tidak ada perubahan pola makan. Minum obat juga sesukanya. Soal obat aku tidak apa-apa tapi kalau soal pola makan, aku selalu mengingatkan ibu. Ibu tidak bisa lepas dari kopi sachet (sarang gula) dan minuman manis lainnya.
Datanglah suatu masa bapakku periksa dan ketauan, menderita DM juga. Rasanya terpukul sekali. Gagal mendorong ibuk untuk mengubah pola makannya, eh bapak ikut-ikutan. Kondisi ibuk secara fisik cenderung stabil karena tiap gulanya tinggi masih bisa beraktivitas ini itu. Kalau bapak sampai pernah ada di kondisi harus istirahat di rumah hampir satu bulan. Rumahku setiap hari didatangi teman-teman bapak ibu di jam-jam tertentu, sudah seperti rumah sakit. Parsel buah kecil besar, kue kaleng, buah kiloan, ada semua.
Usahaku apa? Mendorong mereka untuk diet. Sebetulnya untuk meghadapi DM itu macamnya banyak sekali. Setiap kali ketemu penderita DM mereka punya sarannya masing-masing. Waktu itu aku berhasil mengajak bapak dan ibuk untuk stop nasi putih dan menggantinya dengan nasi merah. Beras merah yang dimasak dengan takaran air seperti beras putih maka nasi merah akan cenderung keras. Belajar dari bulik yang sudah biasa mengkonsumsi nasi merah, untuk bapak ibuk akhirnya mencampur beras putih dan merah dengan takaran satu banding satu serta menggunakan takaran air tiga kali lipat dari memasak beras putih. Rasa nasi memang tetap saja tidak seenak nasi putih. Bertahan satu bulan dengan harapan mereka terbiasa, hmmm gagal. Ya kurang lebih satu bulan dan kembali ke nasi putih.
Andalan ibu masih obat yang ternyata secara dosis juga ngawur. Istri mas adalah dokter, mengatakan bahwa itu dosis tinggi. Ketika diganti obat lain, eh ra konjat (nggak ngefek). Sejak lama juga, mbak saran untuk mereka periksa ke dokter spesial penyakit dalam.
Tepatnya setelah bapak sakit istirahat hampir sebulan, bapak akhirya mau perika ke dokter spesialis penyakit dalam. Pulang-pulang bawa obat satu kresek. Oh lemes aku. Tapi memang hasil lab terakhir dari rumah sakit menunjukkan bahwa bapak tidak hanya DM melainkan juga darah tinggi dan kolesterol. Jadi obatnya kurang lebih tiga macam untuk satu bulan. Bulan berikutnya bapak akan kontrol begitu seterusnya. Ibu tidak mau melakukan hal sama karena masih merasa baik-baik saja.
Di tengah kemalasan diet, bapak ibuku suka mencoba ini itu menurut syarat teman-temannya. Herbal maksudku, minum daun insulin yang diseduh misalnya, dan masih banyak lagi. Saking banyaknya aku nggak paham itu apa aja.
Obat iya, herbal iya, diet tidak. HAHA. Mereka masih makan seenaknya gitu deh. Aku ada di tahap capek. Mereka menua, sulit dibilangin.
Singkat cerita. Di awal tahun 2019, ibuku harus operasi benjolan di ketiaknya. Benjolan yang mungkin sudah tumbuh selama satu bulan di ketiak ibuk, sudah saatnya diambil. Ibuku terlambat memeriksakannya sehingga harus dioperasi. Operasi tidak bisa dilakukan begitu saja, karena apa? Karena dokter berani ambil tindakan operasi jika pasien kadar gula dalam darahnya normal yaitu di bawah 200. Saat diperiksa gula darah ibuk aku lupa tapi sekitar 360-an. Padahal ibuk harus segera dioperasi sehingga dokter meminta pada perawat untuk mengambil jalan pintas melalui suntik insulin. Kurang lebih satu jam kemudian, gula darah ibu masih sekitar 250. Panik tapi di dalam hati doang, "ini gimana woy ibuku harus operasi kagak bisa!". Akhirnya dosis ditambah dan ya insulin lagi insulin. Bagiku insulin itu untuk DM kelas kakap. Padahal ya emang ibuku kelas kakap :( Gula tertinggi ibuku 495 dan bisa duduk-duduk santai justru yang kaget perawatnya, "ni orang nggak pingsan gimana ceritanya woy?!" Ya tapi ibuk secara fisik memang tampak biasa saja. Hm, sering haus jadi minumnya banyak. Sering buang air kecil, perjalanan dua jam pasti mampir toilet umum, juga saat tidur pasti bangun untuk pipis.
Akhirnya gula darah ibuku 199. MEPET EH! Langsung masuk ruang operasi. Pesan dokter usai operasi, ibuk bisa pulang jika jahitan baik sekitar 2-3 hari. Ternyata kondisi ibuk yang gulanya cukup stabil tinggi sehingga luka operasi ibuk justru inveksi. Dokter memutuskan untuk membuka jahitan ibuk dan menggantinya dengan tampon, memasukkan semacam kassa ke dalam lubang bekas operasi. Itu akan lebih lama proses penyembuhannya dan lebih sakit tentunya. Tapi mau bagaimana lagi itu dampak dari infeksi, infeksi dampak dari gula darah yang tinggi.
Akhirnya ibu ditangani dua dokter, bedah dan penyakit dalam. Visit pertama dokter penyakit dalam, terbongkar semua yang terjadi dengan ibuk. Berdasarkan hasil hba1c ibuk ketahuan kalau gula darah selama tiga bulan terakhir sekitar 400 atau berarti selalu tinggi. Setelah tiga hari seharusnya bisa pulang tapi ternyata ibuk harus masih dirawat untuk diobservasi gula darahnya selama seminggu ini. Pola makan diatur rumah sakit sangat khusus bagi penderita DM. Seperti yang aku ceritakan di atas, beda orang beda solusi untuk DM. Dokter juga demikian, dokter satu dengan yang lain bisa saja beda dalam memberi solusi. Dokter ibuku begini kalau mengatur pola makan DM: makan sehari tetap tiga kali dengan nasi putih seperempat piring, selebihnya diisi sayur, dan lauk; lauk yang diperbolehkan adalah yang bukan teman nasi, teman nasi adalah lauk yang mengandung karbohidrat seperti bakwan dan perkedel; buah semua boleh dimakan dengan takaran satu genggaman tangan kita; buah untuk selingan makan, jika sarapan pukul 7, pukul 10 ibuk boleh makan buah seukuran genggaman tangan kita, kalau ingin makan buah dekat waktunya dengan makan, misal apel hanya boleh setengah butir; larangan keras untuk dimakan penderita DM adalah kerupuk, kripik, dan klethik-klethik + bihun dan mie; boleh makan jajanan manis yang gula sudah diganti dengan gula diabet.
Seminggu di rumah sakit, dokter memutuskan untuk ibuk harus suntik insulin sebagai pengontrol gula darah ibuk sehari-hari. Ibuk tidak suka, ibuk takut untuk menyuntik atau disuntik insulin sehari tiga kali. Penjelasan dokter beginI, insulin adalah obat DM terbaik dibanding obat-obatan karena insulin langsung disuntikkan ke tubuh dan bekerja langsung bukan melalui ginjal sehingga tidak berefek buruk kepada ginjal. Yang terkesan seram karena harus menyuntik sedangkan menyuntik familiar dilakukan perawat saat di rumah sakit eh ini ibuku harus melakukannya sendiri dan setiap hari. Awalnya ibu tidak terima dan menawar terus ke dokter untuk diganti dengan obat. Kondisi ibuk yang sudah begini, tentu dokter tidak mengijinkan ibuk menawar.
Ibuk harus diet ketat agar gula darah lebih baik dan tentunya luka operasi cepat sembuh. Di situ peranku harus banyak untuk diet ibuku. Situasi unik adalah bapakku yang sakit juga harus ikut merawat ibuku. Bapak yang menyuntik insulin ke ibuk, bapak belajar dari perawat saat hari terakhir ibuk di rumah sakit.
Aku sudah sejak lama punya peran penting untuk mengurus rumah karena kedua orang tuaku bekerja. Situasi saat ini peranku semakin kompleks saja. Hampir semua pekerjaan rumah aku yang pegang. Seolah semua di bawah kendaliku, maka akan sering terdengar di rumahku dari bapak atau ibu, "mbak, ini di mana?", "mbak itu di mana?". Kalau lagi kesel aku akan komen,"mbak mbek mbak mbek terossss". HAHA. Begitulah.
Ibu harus makan sayur setiap hari. no micin dan no untuk semua larangan yang aku sebut di atas. Setiap hari aku masak untuk serumah. Mikir menu kadang melelahkan. Harus jaga perasaan ibuk dengan tidak sering makan mi instan karena aromanya bisa membuat ibu kesal dan mengomel. Ibuku tidak bekerja dengan jangka waktu yang lama. Fokus pada diet.
Kurang lebih situasi satu rumah fokus pada kesembuhan ibuk berlangsung kurang lebih satu bulan. Sudah satu bulan bapak yang menyuntikkan insulin yang berarti selama satu bulan juga bapak setiap hari pulang di jam makan siang. Kontrol ke dokter bedah seminggu sekali dan sebulan sekali untuk dokter pemyakit dalam. Ditambah dengan home care, perawat datang ke rumah untuk membersihkan dan mengganti tampon ibuk seminggu dua kali.
Bosan, hanya di rumah, biasanya ibu bekerja terus, berjualan di pasar. Setelah satu bulan, dokter bedah mengizinkan ibuk beraktivitas seperti dulu lagi. Persiapan yang ibuk lakukan adalah belajar suntik. Dan, tugasku bertambah satu yaitu menjadi supir ibuk karena ibuk belum bisa mengendarai motor sendiri. Sebagai pengangguran, waktunya jadi lebih mudah. Ada kelebihannya juga ya aku nganggur. Tapi ya aku juga kudu merelakan beberapa kegiatanku di luar. Nah, sabar menjadi kunci penting merawat orang tua yang sakit. Mengurangi ego, mengurangi segala sesuatu yang sifatnya kepentingan kira pribadi. Akan ada masanya mereka masih merasa kurang diperhatikan dengan sudah berbagai pengorbanan yang kita lakukan. Ya gitu, orang tua baperan. Apakah dengan itu bisa serta merta kita jelaskan? Enggak, akan selalu kurang di mata mereka. Bahkan kondisi mereka sakit dan kita fokus untuk memperhatikan mereka, menjadikan banyak masalah anak yang orang tua nggak tahu, padahal masih sewajarnya ada interaksi orang tua dan anak apalagi aku yang belum menikah serta masih tinggal satu atap dengan mereka. Tapi nyatanya mereka sakit, situasi yang aku anggap sewajarnya (dan dulu memang wajar) sudah hilang. Dulu masih ada waktu untuk sekedar cerita hal-hal sederhana. Buat saling peduli satu sama lain. Sekarang nggak bisa. Di satu sisi aku merasa itu masih jadi hakku, di sisi lain ya perhatian hanya berjalan searah yaitu anak ke orang tua tidak berlaku sebaliknya. Akhirnya aku banyak memendam dari orang tua, banyak hal baru tentang aku yang mereka tidak tahu.
Aku ingin bilang, sebagai anak yang dihadapkan dengan situasi ini, anak dituntut untuk ikhlas. Capek ya capek. Terkesan nggak ikhlas? Enggak, aku mau melakukan apapun buat mereka. Sayangku mereka udah nggak bisa aku gambarkan. Aku nggak tahu kenapa timeline media sosialku isinya parenting, parenting, dan parenting. Bisa jadi karena circle-ku memang sudah di hadapkan dengan masa-masa itu. Aku juga mau bilang, pola asuh orang tua kepada anak itu memang penting, tapi pola asuh anak ke orang tua nggak kalah penting. Banyak pola di hidupku yang berubah sejak orang tuaku sakit. Ada jadwal kontrol, ada jadwal antar jualan, dan jadwal-jadwal lain yang sukanya dadakan tapi nggak bisa bilang enggak. Harus bersyukur untuk orang tua yang sehat, sayangi mereka, dorong mereka untuk selalu menjaga kesehatan.
Kondisi ibuku saat ini sangat membaik. Setelah tiga bulan rutin kontrol, hba1c ibuk turun jauh sekali dibanding saat pertama kali masuk rumah sakit. Walaupun belum bisa dibilang normal. Diet ibuk relatif sukses. Insulin masih harus berjalan. Tapi dosis berangsur-angsur menurun. Bangga dengan ibuk. Saat ini setiap sore kaki ibuk selalu panas. Kata dokter, itu adalah salah satu efek diabetes yang sudah lama diderita ibuk. Kalau kaki panas, ibuk akan minta pijit. Aku dan bapak (seringnya bapak) yang memijit kaki ibuk. Diet ibuk sudah tidak seketat dulu karena justru kalau seperti dulu sering kali gula darah ibuk drop. Mereka menua, sudah tidak boleh terlalu capek. Semoga bapak ibuk membaik :)
Sekian dulu ceritaku yang panjang banget ini. Semoga ada yang bisa teman-teman ambil walaupun sedikit. hehe
Firlie NH
10 Oktober 2019
Sebentar lagi aku akan 26 tahun. Bukan mau pamer akan ulang tahun tapi untuk gambaran. Bapak dan ibuku sama-sama 54 tahun. Sepertinya itu usia relatif muda untuk orang yang sakit ini itu. Malah kayak judge mereka, tapi sering ketemu yang lebih tua dari orang tuaku justru sehat dan segar. Makanya aku sering ejek mereka seperti kakek-kakek dan nenek-nenek usia 64 tahun. Semua harus diladeni. Ejek sambil bercanda lho ya. Aku sayang dengan mereka. Ejekan tersebut ya ungkapan sayang sekaligus mengingatkan mereka bahwa ya mereka harus semangat dan jangan terus merasa sakit.
Aku tinggal dengan bapak, ibuk, dan adik laki-laki yang masih kelas 1 SD. Mas sudah menikah sejak 2011 sehingga sudah berpisah rumah dan tidak bisa bantu banyak perihal merawat bapak ibuk di rumah. Ada gunanya lho aku tidak menikah muda. Mas menikah usia 20 tahun. Aku sampai sekarang belum menikah. Ternyata skenario Alloh begini. Setidaknya ada yang merawat orang tauku sampai aku menikah nanti. Wallohu alam aku akan menikah kapan dan dengan siapa jadi belum ada bayangan bagaimana merawat kedua orang tuaku nantinya.
Sekitar 7 tahun lalu, 2012, ibuku untuk pertama kalinya tahu dirinya sakit diabetes melitus (DM), pabrik gula. Penyakit yang katanya keturunan (katanya juga teori tersebut sudah terpatahkan) dan tidak akan sembuh atau bahasa blak-blakannya adalah "cacat". Saat ibuku tes, aku berada di tempat yang sama sehingga aku juga melakukan tes. Aku cenderung rendah atau kerendahan kadar gula. Ibuku kelebihan sekali. Sekitar 300an kondisi belum makan. Masih cuek, cuek sekali. Bahkan tidak ada perubahan pola makan. Minum obat juga sesukanya. Soal obat aku tidak apa-apa tapi kalau soal pola makan, aku selalu mengingatkan ibu. Ibu tidak bisa lepas dari kopi sachet (sarang gula) dan minuman manis lainnya.
Datanglah suatu masa bapakku periksa dan ketauan, menderita DM juga. Rasanya terpukul sekali. Gagal mendorong ibuk untuk mengubah pola makannya, eh bapak ikut-ikutan. Kondisi ibuk secara fisik cenderung stabil karena tiap gulanya tinggi masih bisa beraktivitas ini itu. Kalau bapak sampai pernah ada di kondisi harus istirahat di rumah hampir satu bulan. Rumahku setiap hari didatangi teman-teman bapak ibu di jam-jam tertentu, sudah seperti rumah sakit. Parsel buah kecil besar, kue kaleng, buah kiloan, ada semua.
Usahaku apa? Mendorong mereka untuk diet. Sebetulnya untuk meghadapi DM itu macamnya banyak sekali. Setiap kali ketemu penderita DM mereka punya sarannya masing-masing. Waktu itu aku berhasil mengajak bapak dan ibuk untuk stop nasi putih dan menggantinya dengan nasi merah. Beras merah yang dimasak dengan takaran air seperti beras putih maka nasi merah akan cenderung keras. Belajar dari bulik yang sudah biasa mengkonsumsi nasi merah, untuk bapak ibuk akhirnya mencampur beras putih dan merah dengan takaran satu banding satu serta menggunakan takaran air tiga kali lipat dari memasak beras putih. Rasa nasi memang tetap saja tidak seenak nasi putih. Bertahan satu bulan dengan harapan mereka terbiasa, hmmm gagal. Ya kurang lebih satu bulan dan kembali ke nasi putih.
Andalan ibu masih obat yang ternyata secara dosis juga ngawur. Istri mas adalah dokter, mengatakan bahwa itu dosis tinggi. Ketika diganti obat lain, eh ra konjat (nggak ngefek). Sejak lama juga, mbak saran untuk mereka periksa ke dokter spesial penyakit dalam.
Tepatnya setelah bapak sakit istirahat hampir sebulan, bapak akhirya mau perika ke dokter spesialis penyakit dalam. Pulang-pulang bawa obat satu kresek. Oh lemes aku. Tapi memang hasil lab terakhir dari rumah sakit menunjukkan bahwa bapak tidak hanya DM melainkan juga darah tinggi dan kolesterol. Jadi obatnya kurang lebih tiga macam untuk satu bulan. Bulan berikutnya bapak akan kontrol begitu seterusnya. Ibu tidak mau melakukan hal sama karena masih merasa baik-baik saja.
Di tengah kemalasan diet, bapak ibuku suka mencoba ini itu menurut syarat teman-temannya. Herbal maksudku, minum daun insulin yang diseduh misalnya, dan masih banyak lagi. Saking banyaknya aku nggak paham itu apa aja.
Obat iya, herbal iya, diet tidak. HAHA. Mereka masih makan seenaknya gitu deh. Aku ada di tahap capek. Mereka menua, sulit dibilangin.
Singkat cerita. Di awal tahun 2019, ibuku harus operasi benjolan di ketiaknya. Benjolan yang mungkin sudah tumbuh selama satu bulan di ketiak ibuk, sudah saatnya diambil. Ibuku terlambat memeriksakannya sehingga harus dioperasi. Operasi tidak bisa dilakukan begitu saja, karena apa? Karena dokter berani ambil tindakan operasi jika pasien kadar gula dalam darahnya normal yaitu di bawah 200. Saat diperiksa gula darah ibuk aku lupa tapi sekitar 360-an. Padahal ibuk harus segera dioperasi sehingga dokter meminta pada perawat untuk mengambil jalan pintas melalui suntik insulin. Kurang lebih satu jam kemudian, gula darah ibu masih sekitar 250. Panik tapi di dalam hati doang, "ini gimana woy ibuku harus operasi kagak bisa!". Akhirnya dosis ditambah dan ya insulin lagi insulin. Bagiku insulin itu untuk DM kelas kakap. Padahal ya emang ibuku kelas kakap :( Gula tertinggi ibuku 495 dan bisa duduk-duduk santai justru yang kaget perawatnya, "ni orang nggak pingsan gimana ceritanya woy?!" Ya tapi ibuk secara fisik memang tampak biasa saja. Hm, sering haus jadi minumnya banyak. Sering buang air kecil, perjalanan dua jam pasti mampir toilet umum, juga saat tidur pasti bangun untuk pipis.
Akhirnya gula darah ibuku 199. MEPET EH! Langsung masuk ruang operasi. Pesan dokter usai operasi, ibuk bisa pulang jika jahitan baik sekitar 2-3 hari. Ternyata kondisi ibuk yang gulanya cukup stabil tinggi sehingga luka operasi ibuk justru inveksi. Dokter memutuskan untuk membuka jahitan ibuk dan menggantinya dengan tampon, memasukkan semacam kassa ke dalam lubang bekas operasi. Itu akan lebih lama proses penyembuhannya dan lebih sakit tentunya. Tapi mau bagaimana lagi itu dampak dari infeksi, infeksi dampak dari gula darah yang tinggi.
Akhirnya ibu ditangani dua dokter, bedah dan penyakit dalam. Visit pertama dokter penyakit dalam, terbongkar semua yang terjadi dengan ibuk. Berdasarkan hasil hba1c ibuk ketahuan kalau gula darah selama tiga bulan terakhir sekitar 400 atau berarti selalu tinggi. Setelah tiga hari seharusnya bisa pulang tapi ternyata ibuk harus masih dirawat untuk diobservasi gula darahnya selama seminggu ini. Pola makan diatur rumah sakit sangat khusus bagi penderita DM. Seperti yang aku ceritakan di atas, beda orang beda solusi untuk DM. Dokter juga demikian, dokter satu dengan yang lain bisa saja beda dalam memberi solusi. Dokter ibuku begini kalau mengatur pola makan DM: makan sehari tetap tiga kali dengan nasi putih seperempat piring, selebihnya diisi sayur, dan lauk; lauk yang diperbolehkan adalah yang bukan teman nasi, teman nasi adalah lauk yang mengandung karbohidrat seperti bakwan dan perkedel; buah semua boleh dimakan dengan takaran satu genggaman tangan kita; buah untuk selingan makan, jika sarapan pukul 7, pukul 10 ibuk boleh makan buah seukuran genggaman tangan kita, kalau ingin makan buah dekat waktunya dengan makan, misal apel hanya boleh setengah butir; larangan keras untuk dimakan penderita DM adalah kerupuk, kripik, dan klethik-klethik + bihun dan mie; boleh makan jajanan manis yang gula sudah diganti dengan gula diabet.
Seminggu di rumah sakit, dokter memutuskan untuk ibuk harus suntik insulin sebagai pengontrol gula darah ibuk sehari-hari. Ibuk tidak suka, ibuk takut untuk menyuntik atau disuntik insulin sehari tiga kali. Penjelasan dokter beginI, insulin adalah obat DM terbaik dibanding obat-obatan karena insulin langsung disuntikkan ke tubuh dan bekerja langsung bukan melalui ginjal sehingga tidak berefek buruk kepada ginjal. Yang terkesan seram karena harus menyuntik sedangkan menyuntik familiar dilakukan perawat saat di rumah sakit eh ini ibuku harus melakukannya sendiri dan setiap hari. Awalnya ibu tidak terima dan menawar terus ke dokter untuk diganti dengan obat. Kondisi ibuk yang sudah begini, tentu dokter tidak mengijinkan ibuk menawar.
Ibuk harus diet ketat agar gula darah lebih baik dan tentunya luka operasi cepat sembuh. Di situ peranku harus banyak untuk diet ibuku. Situasi unik adalah bapakku yang sakit juga harus ikut merawat ibuku. Bapak yang menyuntik insulin ke ibuk, bapak belajar dari perawat saat hari terakhir ibuk di rumah sakit.
Aku sudah sejak lama punya peran penting untuk mengurus rumah karena kedua orang tuaku bekerja. Situasi saat ini peranku semakin kompleks saja. Hampir semua pekerjaan rumah aku yang pegang. Seolah semua di bawah kendaliku, maka akan sering terdengar di rumahku dari bapak atau ibu, "mbak, ini di mana?", "mbak itu di mana?". Kalau lagi kesel aku akan komen,"mbak mbek mbak mbek terossss". HAHA. Begitulah.
Ibu harus makan sayur setiap hari. no micin dan no untuk semua larangan yang aku sebut di atas. Setiap hari aku masak untuk serumah. Mikir menu kadang melelahkan. Harus jaga perasaan ibuk dengan tidak sering makan mi instan karena aromanya bisa membuat ibu kesal dan mengomel. Ibuku tidak bekerja dengan jangka waktu yang lama. Fokus pada diet.
Kurang lebih situasi satu rumah fokus pada kesembuhan ibuk berlangsung kurang lebih satu bulan. Sudah satu bulan bapak yang menyuntikkan insulin yang berarti selama satu bulan juga bapak setiap hari pulang di jam makan siang. Kontrol ke dokter bedah seminggu sekali dan sebulan sekali untuk dokter pemyakit dalam. Ditambah dengan home care, perawat datang ke rumah untuk membersihkan dan mengganti tampon ibuk seminggu dua kali.
Bosan, hanya di rumah, biasanya ibu bekerja terus, berjualan di pasar. Setelah satu bulan, dokter bedah mengizinkan ibuk beraktivitas seperti dulu lagi. Persiapan yang ibuk lakukan adalah belajar suntik. Dan, tugasku bertambah satu yaitu menjadi supir ibuk karena ibuk belum bisa mengendarai motor sendiri. Sebagai pengangguran, waktunya jadi lebih mudah. Ada kelebihannya juga ya aku nganggur. Tapi ya aku juga kudu merelakan beberapa kegiatanku di luar. Nah, sabar menjadi kunci penting merawat orang tua yang sakit. Mengurangi ego, mengurangi segala sesuatu yang sifatnya kepentingan kira pribadi. Akan ada masanya mereka masih merasa kurang diperhatikan dengan sudah berbagai pengorbanan yang kita lakukan. Ya gitu, orang tua baperan. Apakah dengan itu bisa serta merta kita jelaskan? Enggak, akan selalu kurang di mata mereka. Bahkan kondisi mereka sakit dan kita fokus untuk memperhatikan mereka, menjadikan banyak masalah anak yang orang tua nggak tahu, padahal masih sewajarnya ada interaksi orang tua dan anak apalagi aku yang belum menikah serta masih tinggal satu atap dengan mereka. Tapi nyatanya mereka sakit, situasi yang aku anggap sewajarnya (dan dulu memang wajar) sudah hilang. Dulu masih ada waktu untuk sekedar cerita hal-hal sederhana. Buat saling peduli satu sama lain. Sekarang nggak bisa. Di satu sisi aku merasa itu masih jadi hakku, di sisi lain ya perhatian hanya berjalan searah yaitu anak ke orang tua tidak berlaku sebaliknya. Akhirnya aku banyak memendam dari orang tua, banyak hal baru tentang aku yang mereka tidak tahu.
Aku ingin bilang, sebagai anak yang dihadapkan dengan situasi ini, anak dituntut untuk ikhlas. Capek ya capek. Terkesan nggak ikhlas? Enggak, aku mau melakukan apapun buat mereka. Sayangku mereka udah nggak bisa aku gambarkan. Aku nggak tahu kenapa timeline media sosialku isinya parenting, parenting, dan parenting. Bisa jadi karena circle-ku memang sudah di hadapkan dengan masa-masa itu. Aku juga mau bilang, pola asuh orang tua kepada anak itu memang penting, tapi pola asuh anak ke orang tua nggak kalah penting. Banyak pola di hidupku yang berubah sejak orang tuaku sakit. Ada jadwal kontrol, ada jadwal antar jualan, dan jadwal-jadwal lain yang sukanya dadakan tapi nggak bisa bilang enggak. Harus bersyukur untuk orang tua yang sehat, sayangi mereka, dorong mereka untuk selalu menjaga kesehatan.
Kondisi ibuku saat ini sangat membaik. Setelah tiga bulan rutin kontrol, hba1c ibuk turun jauh sekali dibanding saat pertama kali masuk rumah sakit. Walaupun belum bisa dibilang normal. Diet ibuk relatif sukses. Insulin masih harus berjalan. Tapi dosis berangsur-angsur menurun. Bangga dengan ibuk. Saat ini setiap sore kaki ibuk selalu panas. Kata dokter, itu adalah salah satu efek diabetes yang sudah lama diderita ibuk. Kalau kaki panas, ibuk akan minta pijit. Aku dan bapak (seringnya bapak) yang memijit kaki ibuk. Diet ibuk sudah tidak seketat dulu karena justru kalau seperti dulu sering kali gula darah ibuk drop. Mereka menua, sudah tidak boleh terlalu capek. Semoga bapak ibuk membaik :)
Sekian dulu ceritaku yang panjang banget ini. Semoga ada yang bisa teman-teman ambil walaupun sedikit. hehe
Firlie NH
10 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar