AUDISI, "TIDAK LOLOS"!

Beberapa hari lalu saya dinyatakan "tidak lolos" pada sebuah audisi salah satu orkestra di Jakarta. Seingat saya ini audisi (berkaitan dengan musik) ke enam yang saya jalani. Rasanya tidak begitu kecewa karena saat audisi sadar betul betapa buruk permainan saya. Tapi karena blind audition, berharap hasil tes saya tertukar dengan yang bagus sehingga saya lolos. hahahahaha! Kata teman saya, cara agar lebih bisa menghadapi audisi adalah dengan membiasakannya alias sering-sering ikut audisi. Betul juga, ya! Sudah dua belas tahun bermusik, baru enam kali ikut audisi. Payah.

Pertama kali saya audisi adalah saat saya berusia 17 tahun, audisi untuk menjadi bagian dari Gita Bahana Nusantara, orkestra yang selalu tampil di upacara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus di istana negara. Pada waktu itu saya baru saja lulus SMK, baru saja diterima kuliah tapi perkuliahan belum dimulai. Materi saya persiapkan dengan sungguh-sungguh jauh sebelum audisi berlangsung. Hasilnya saya gagal. Rasa sedih, kecewa, dan marah. Rasa itu tidak melulu ke diri sendiri. Ada saja asumsi yang saya ciptakan dengan menuduh audisi tersebut tidak bersih. Kecewa ke diri sendiri itu pasti, merasa tidak puas karena saat audisi berlangsung ada saja yang terlewat dan menjadi kacau. Ada beberapa pihak yang menuduh hal negatif seperti yang saya sebutkan sebelumnya memancing saya untuk berpikir hal sama. Padahal intinya gagal ya gagal saja. Memang belum layak menjadi yang lolos audisi.

Tahun berikutnya saya memutuskan untuk ikut lagi dan menaruh harapan besar untuk bisa lolos audisi. Ini adalah audisi ke dua saya di orkestra ini sekaligus audisi ke dua seumur hidup saya. Berusaha berlatih sekeras mungkin untuk bisa lebih siap menghadapi audisi. Pada waktu itu hal yang membuat saya sangat ingin menjadi bagian dari orkestra tersebut karena hampir semua teman saya pernah ikut, saya juga ingin. Pasti orang tua juga akan berbangga melihat saya menjadi bagian dari acara di istana negara. Lagi-lagi saya dinyatakan tidak lolos. Nama saya tidak ada di daftar pemain orkestra itu. Rasanya masih sama, kecewa, sedih, dan marah. Dampaknya, saya cukup trauma untuk mengikuti audisi musik apapun itu. Saya begitu ingat suasana audisi, tegangnya, seramnya tim penilai di hadapan saya walaupun mungkin mereka sebetulnya biasa saja.

Setelah dua kali gagal audisi untuk masuk Gita Bahana Nusantara, saya memutuskan untuk tidak mengikuti audisi lagi di tahun-tahun berikutnya. Bisa dibilang trauma, merasa tidak punya kemampuan apa-apa dibanding yang lolos. Rasanya saya sadar betapa buruk skill saya sampai audisi yang teman-teman lolos, saya tidak. Tapi beberapa tahun setelah itu saya mulai berani mengikuti audisi walaupun bukan audisi GBN. Yang tadinya merasa trauma bergeser menjadi rasa tidak punya keinginan lagi untuk ada di sana.

Kegagalan dalam audisi tidak lagi menyurutkan semangat saya untuk terus berlatih dalam bermusik. Saya coba untuk mengubah lawan dalam bermain musik saya. Lawan bermusik saya bukanlah orang lain melainkan diri saya sendiri di masa sebelumnya. Intinya, saya berusaha untuk lebih baik lagi walau kecil jika diprosentase, setidaknya harus ada progres yang saya capai tanpa harus memikirkan seberapa besar progres saya dibandingkan dengan orang lain.

Pengalaman audisi yang ke tiga adalah audisi music camp yang diadakan sebuah lembaga musik di daerah Karanganyar (dekat Solo).  Mereka mengundang pemain biola asal Norwegia untuk memberikan materi belajar orkes gesek. Peserta music camp dipilih melalui proses audisi. Materi audisi tidak sesulit audisi yang sebelumnya saya ikuti. Saya dinyatakan "lolos". Perasaannya bahagia, audisi yang tampak lebih sederhana ini berhasil memicu kepercayaan diri saya untuk jangan takut untuk menghadapi audisi lagi.

Audisi ke empat yang saya ikuti adalah audisi menjadi pemain cello di sebuah orkestra profesional di Bandung. Sebetulnya dari segi timing agak menyebalkan karena ini audisi penting yang harus saya ikuti di masa-masa akan ujian skripsi yang juga sama pentingnya. Lebih seru lagi saat audisi berlangsung secara tertutup antara peserta dan penguji atau biasa disebut blind audition. The Voice Indonesia program pencarian bakat nyanyi di televisi nasional yang menggunakan sistem blind audition. Perbedaannya dewan juri langsung memutuskan saat audisi berlangsung dengan memencet tombol sehingga podium mereka berbalik dan peserta dinyatakan lolos. Kalau audisi orkestra ini tidak sebegitunya, sih. Pengumuman lolos atau tidaknya dinyatakan setelah seluruh peserta setiap section instrumennya selesai. Saya lupa jumlah peserta audisi instrumen cello, sekitar belasan dan diambil delapan saja. Setelah semua peserta dengan instrumen cello selesai, hasil segera diumumkan. Sedikit mundur ke belakang, saya tiba di Bandung subuh hari dan paginya langsung audisi. Sore saya dipanggil dan dinyatakan "lolos" duduk di kursi ke tiga. Perasaan tidak lolos campur aduk, perasaan lolos pun campur aduk. Bahagia, kaget, dan bangga. Malam harinya saya langsung menuju ke Jogja untuk siap-siap ke Bandung lagi karena akan ada konser perdana yang selisih hari dengan ujian skripsi hanya tiga hari setelah konser. Syukurlah, semuanya masih berjalan semua. Audisi ke empat itu membawa saya menjadi pemain kontrak di orkestra tersebut hingga sekarang.

Audisi ke lima tidak kalah menyenangkan karena saya dinyatakan lolos audisi music camp yang diadakan oleh dinas kebudayaan bekerja sama dengan Melbourne Symphony Orchestra. Sebagian dari mereka datang ke Yogyakarta untuk berbagi banyak ilmu selama satu minggu dan ditutup dengan konser. Agenda tahunan tersebut sudah berlangsung beberapa kali. Saya angkatan ke tiga kalau tidak salah. Sebetulnya, dua tahun sebelumnya saya mendapat tawaran bahkan tanpa audisi untuk dapat bergabung di music camp tersebut. Tawaran datang dari dosen yang sangat dekat dengan saya. Tapi dengan sangat terpaksa saya menolak ajakan tersebut karena acara berlangsung di awal masa studi saya di salah satu kampus pascasarjana di Yogyakarta. Saya belum berani bolos atau izin dengan durasi waktu yang cukup lama, satu minggu. Dua tahun berlalu, saya ingin bergabung di penghujung batas maksimal usia karena ini "youth music camp" dengan maksimal usia peserta adalah 25 tahun, saya mendaftar di usia 24 tahun menuju beberapa bulan berikutnya masuk ke usia 25 tahun. Malu karena saat audisi yang lain betul-betul "youth" sedangkan saya merasa "tua gilak". Mengingat tahun depan saya sudah tidak bisa mendaftar dan ada penyesalan melewatkan ajakan dua tahun lalu, saya merasa harus ikut. Belum tentu lolos, tapi setidaknya saya tidak melewatkan kesempatan audisi terakhir saya. Seperti kata saya di awal paragraf ini, audisi ini berakhir baik.

Audisi ke enam adalah audisi yang baru-baru ini saya ikuti dan dinyatakan "tidak lolos". Hm, beberapa hal terjadi yang membuat audisi ini berkesan. Ini adalah tahun ke tiga kalau tidak salah dan saya berencana ikut audisi sejak tahun pertama. Alasan saya melewatkan audisi di tahun pertama saya lupa. Mungkin masih terlalu ribet dengan tugas-tugas perkuliahan yang membuat saya merasa tidak siap. Di tahun selanjutnya, saya sedang sibuk menyusun tesis sehingga latihan saja saya jarang. Tahun ini ketika semua sudah beres, saya merasa ini waktu yang tepat, saya merasa tidak punya alasan lagi untuk menunda. Sempat tidak yakin untuk ikut karena pengumuman audisi hanya sekitar tiga minggu sebelum audisi dilaksanakan. Waktu persiapan terlalu singkat menurut saya. Tapi karena ada seorang kawan yang meyakinkan saya untuk mendaftar, terjadi juga saya mengirim email berisi CV dan foto di batas akhir pengiriman. Saya mengirim email di hari terakhir pukul 21.30 sedangkan batasnya adalah pukul 22.00. Nomor 53 alias sangat terakhir, nomor audisi saya. Datang hari audisi, saya datang cukup awal jika dilihat dari nomor audisi saya, karena saya beranggapan daftar ulang tetap dilakukan sejak pagi. Oiya, audisi orkestra Jakarta ini secara rutin membuka audisi di Yogyakarta selain di Jakarta. Sampai di sana dan mendaftar ulang, audisi cukup unik karena peserta diwajibkan mengerjakan soal harmoni, teori musik, dan seputar sejarah musik, diserahkan sebelum masuk untuk audisi praktiknya. Soalnya berbahasa Inggris, jumlahnya sepuluh kalau saya tidak salah mengingat. Cenderung mudah, tapi karena saya sudah lama tidak menggunakan teori-teori tersebut, saya butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Karena saya hanya duduk-duduk santai di dekat ruang audisi, sedangkan tim audisi merasa ribet kalau harus mencari peserta sesuai urutan yang justru menyebar di berbagai ruangan yang agak jauh dari ruang audisi, salah seorang tim menunjuk saya untuk bersiap-siap masuk ruang audisi. Giliran saya menjadi jauh lebih cepat sekitar dua puluhan. Saya "iya iya" saja. Terjadilah audisi. Saya melakukan kesalahan di tempat yang mudah yang pada saat latihan tidak pernah salah sama sekali, saya ulang tapi malah disuruh berhenti. Oh, saya tahu saya akan gagal lebih awal jauh sebelum email pengumuman itu datang. Seperti di luar kuasa saya, tapi betul-betul salah untuk hal yang sangat sepele. Tapi ya sudahlah. Mau di luar kuasa atau apapun itu namanya, tetap saja itu yang memainkan, membunyikan adalah saya.

Kegagalan audisi kali ini tidak begitu jelas yang saya rasakan. Semacam "yaudahlah". Toh, audisi bisa diikuti sampai yang berusia 40 tahun. Saya merasa kesempatannya masih sangat banyak. Sudah ada di pikiran untuk ikut lagi tahun depan. Audisi ini tidak cukup meninggalkan kekecewaan atau trauma yang membuat saya enggan mencoba lagi. Menyenangkan. Supaya tidak berakhir pada kegagalan audisi, satu-satunya cara adalah dengan tetap ikut audisi sampai dinyatakan "lolos".

Firlie NH
15 Maret 2020

Komentar

Banyak dibaca