aku tu sayang, mung sok lali, kepolen, kakean nuntut.
Beberapa tahun terakhir aku dibikin panik sama pertanyaan "sekarang sibuk apa?" atau "kerja di mana?". Aku yang merasa belum punya pekerjaan tetap trus ditanya kayak gitu, jujur aja itu pertanyaan yang sulit, mau jawab apa, ya? Pasti kalau mentok aku akan jawab "pengangguran". Sepertinya kata itu bisa mewakili ketidaktetapan pekerjaan aku beberapa tahun terakhir ini. Padahal kadang pertanyaan kayak gitu cuma dipakai untuk basa basi orang yang udah lama nggak ketemu sama kita. Ya kadang tanya serius juga, sih. Cuma rasa-rasanya lebih sering dipakai basa basi.
Akhir tahun 2019 aku perpanjangan masa berlaku SIM A dapet pertanyaan soal pekerjaan. Di SIM lama, tertulis aku mahasiswa. Udah mau beranjak 26 tahun kalau itu enggak diganti seolah aku mahasiswa S3 kali yah. Dari sejak menunggu antrean, karena udah denger dari orang sebelum-sebelumnya, karena emang suaranya keras, aku tahu bakal ditanya pekerjaan. Aku jadi udah mikirin dong sejak antrean masih agak lama. Dengan beberapa diskusi dan pertimbangan, dibantu pak polisi di SIM ku tertulis yang mungkin hanya merepresentasikan pekerjaan sebenarnya sebesar 25%. Awal tahun 2020, aku mengurus surat kehilangan KTP di polsek deket rumah. Lagi-lagi aku ditanya soal pekerjaan karena nanti di KTP baru akan tertulis pekerjaan sekarang. Sungguh selalu terasa seperti intimidasi.
Kalau dipikir-pikir, aku mau sebut diriku sendiri sebagai pengangguran, nyatanya yang sering terjadi adalah sejak bangun hingga mau tidur aku nggak punya waktu untuk istirahat, kadang nggak sempat buat makan, kadang juga waktu mau merem di otak masih ada beberapa hal yang rasanya kecewa karena di hari itu ada hal yang terlewat buat dilakuin. Eh, malah di sisi lain selalu ngerasa "kok aku gini-gini aja?"
Hari ini aku menyadari sesuatu. Itu kurang bersyukur aja sih intinya. Aku pengen buat pertanyaan itu nggak lagi bikin aku terintimidasi. Walau mungkin aku nggak ngeganti jawabanku, biar gampang mungkin aku tetep sebut aku "pengangguran". Aku nggak mau ambil pusing buat mencari kesimpulan apa nama pekerjaan aku yang pas, yang biar kalau ditanya orang, atau ngisi formulir jadi gampang. Aku bersyukur, hari-hariku banyak hal yang kulakuin. Buat diriku sendiri, buat orang tua, dan buat orang lain. Sekecil apapun hal yang bisa ku lakuin buat orang lain di antara waktuku seharian itu, aku udah merasa ayem aku ada manfaatnya. Hadapi aja gitu yang ada di depan. Dilalui aja dulu dan ikutin aja ada apa lagi selanjutnya. Melakukan yang terbaik sama apa-apa yang kudu dihadapi. Kayaknya itu lebih penting. Ngerasa "kok aku gini-gini aja?" aku abaikan, aku biarin aja aku merasa gitu. Mungkin tu ya bener kalau aku tuh "gini-gini aja". Tapi kalau "gini-gini aja"-nya masih ada manfaatnya, yaudahlah emang kenapa? Jadi udahlah, bodo amat sama intimidasi yang aku lakuin ke diriku sendiri. Hai, diriku sendiri, maafin aku ya! Aku sayang sama diriku sendiri walau sering lupa, selagi inget aku mau sayang banget lah sama diriku sendiri. Pengen meluk diriku sendiri trus bilang, "aku tu sayang, mung sok lali, kepolen, kakean nuntut. Nuwun, ya!"
Firlie NH
6 Juni 2020
Akhir tahun 2019 aku perpanjangan masa berlaku SIM A dapet pertanyaan soal pekerjaan. Di SIM lama, tertulis aku mahasiswa. Udah mau beranjak 26 tahun kalau itu enggak diganti seolah aku mahasiswa S3 kali yah. Dari sejak menunggu antrean, karena udah denger dari orang sebelum-sebelumnya, karena emang suaranya keras, aku tahu bakal ditanya pekerjaan. Aku jadi udah mikirin dong sejak antrean masih agak lama. Dengan beberapa diskusi dan pertimbangan, dibantu pak polisi di SIM ku tertulis yang mungkin hanya merepresentasikan pekerjaan sebenarnya sebesar 25%. Awal tahun 2020, aku mengurus surat kehilangan KTP di polsek deket rumah. Lagi-lagi aku ditanya soal pekerjaan karena nanti di KTP baru akan tertulis pekerjaan sekarang. Sungguh selalu terasa seperti intimidasi.
Kalau dipikir-pikir, aku mau sebut diriku sendiri sebagai pengangguran, nyatanya yang sering terjadi adalah sejak bangun hingga mau tidur aku nggak punya waktu untuk istirahat, kadang nggak sempat buat makan, kadang juga waktu mau merem di otak masih ada beberapa hal yang rasanya kecewa karena di hari itu ada hal yang terlewat buat dilakuin. Eh, malah di sisi lain selalu ngerasa "kok aku gini-gini aja?"
Hari ini aku menyadari sesuatu. Itu kurang bersyukur aja sih intinya. Aku pengen buat pertanyaan itu nggak lagi bikin aku terintimidasi. Walau mungkin aku nggak ngeganti jawabanku, biar gampang mungkin aku tetep sebut aku "pengangguran". Aku nggak mau ambil pusing buat mencari kesimpulan apa nama pekerjaan aku yang pas, yang biar kalau ditanya orang, atau ngisi formulir jadi gampang. Aku bersyukur, hari-hariku banyak hal yang kulakuin. Buat diriku sendiri, buat orang tua, dan buat orang lain. Sekecil apapun hal yang bisa ku lakuin buat orang lain di antara waktuku seharian itu, aku udah merasa ayem aku ada manfaatnya. Hadapi aja gitu yang ada di depan. Dilalui aja dulu dan ikutin aja ada apa lagi selanjutnya. Melakukan yang terbaik sama apa-apa yang kudu dihadapi. Kayaknya itu lebih penting. Ngerasa "kok aku gini-gini aja?" aku abaikan, aku biarin aja aku merasa gitu. Mungkin tu ya bener kalau aku tuh "gini-gini aja". Tapi kalau "gini-gini aja"-nya masih ada manfaatnya, yaudahlah emang kenapa? Jadi udahlah, bodo amat sama intimidasi yang aku lakuin ke diriku sendiri. Hai, diriku sendiri, maafin aku ya! Aku sayang sama diriku sendiri walau sering lupa, selagi inget aku mau sayang banget lah sama diriku sendiri. Pengen meluk diriku sendiri trus bilang, "aku tu sayang, mung sok lali, kepolen, kakean nuntut. Nuwun, ya!"
Firlie NH
6 Juni 2020
Komentar
Posting Komentar