QUARTER LIFE CRISIS

Sudah banyak artikel, video, dan podcast yang membahas topik "Quarter Life Crisis". Jika belum tahu itu apa, browsing, maka akan ada banyak info yang beragam tentang topik tersebut. Tulisan ini memang tidak bertujuan untuk menjelaskan pengertiannya. Sekadar sharing soal saya yang saya judge oleh diri saya sendiri bahwa saya sudah pernah mengalaminya. Tahun lalu saat saya berusia dua puluh empat sampai dua puluh lima tahun.

Singkatnya, quarter life crisis merupakan masa seseorang merasa tidak punya tujuan hidup, tidak punya pencapaian, kacau dalam percintaan, dan pikiran-pikiran lain yang hadir begitu saja dan membebani seseorang dalam menjalani hidupnya. "Quarter" diartikan dengan seperempat abad sehingga ada pendapat mengatakan bahwa hal ini akan terjadi pada umumnya di masa usia dua puluh lima tahun. Tapi ada pendapat lain yang masuk akal juga bahwa hidup manusia yang lebih umum berusia delapan puluh tahun quarter life crisis sangat mungkin dialami seseorang sejak usia dua puluh tahun. Ada yang merasa aneh terhadap dirinya sendiri jika mengkhawatirkan soal finansial, masa depan, dan percintaan di usia dua puluh terlalu dini. Padahal itu wajar saja.



Tulisan ini datang dari timeline circle saya yang memperlihatkan gejala-gejala tersebut dari opini mereka. Ada yang merencanakan perihal jenjang pernikahan dengan pacarnya, merasa belum punya pencapaian apa-apa, merasa sudah harus lepas secara finansial dari orang tua sampai malu untuk meminta uang, galau karena tidak punya pasangan, dan lain-lain.

Dimulai dengan tidak bisa tidur. Grasak grusuk di kasur. Berkeringat. Tiba-tiba muncul saja pikiran, "Ngapain sih hidup? Harusnya tahu deh hidup ini mau ngapain, bermanfaat gitu lho. Lah aku apa kok nggak ada gunanya? Nggak bisa cari duit. Ngrepotin orang lain terus". Bangun dan kalau sudah sangat parah saya memilih mengalihkannya dengan hal-hal lain. Sebetulnya pertama kali itu terjadi, saya masih kuliah. Tapi saya sering berhasil mengalihkannya. Itu kan tidak akan ada habisnya. Hanya akan kembali muncul di waktu yang lain. Beberapa tahun lalu, pikiran-pikiran seperti itu muncul dan mengacaukan saya. Kacau banget. Saya mensugesti diri saya dengan, "Keluarlah dari zona nyaman". Itu satu-satunya cara agar segala pikiran negatif saya bisa dipilah-pilah dan kondisikan. Itu tepatnya di pertengahan kuliah S2 saya yang flat dan pilih cuti sebagai jalan menghindar. Tidak baik. Hmm. Habis S2 takut sekali diminta daftar dosen. Saya belum punya keinginan ke sana. Butuh dialog dengan diri sendiri lama sekali untuk berpikir "Apakah dosen adalah hal yang perlu saya perjuangkan untuk mengisi hidup saya kedepannya?". Hati sampai sekarang masih bertahan dengan "tidak". Hati itu bukan keputusanku sendiri. Tuhan saya yakini ada di dalam hati setiap makhluknya. Manusia seringkali lupa berdialog dengan dirinya sendiri, juga dengan Tuhan. Profesi yang bisa menjadi salah satu pilihan karir untuk dijalani selepas lulus S2 ialah dosen. Memang nggak harus, tapi orang tua saya akan senang kalau saya mau menjadi dosen. Saya tidak senang. Atau belum senang (?) Untuk melangkah mencoba saja saya berdialog dengan diri sendiri cukup lama. Menunda kelulusan membawa saya kepada kenyataan bahwa teman-teman yang biasa duduk bersama di kelas saat perkuliahan kini sudah mulai menjadi dosen di berbagai universitas. Ada yang kembali ke kotanya dan mengajar di sana, ada pula yang mengajar di sini (Jogja). Ada yang membagi undangan pernikahan. Ada juga yang sering post progres rumah yang ia bangun melalui media sosial. Ada perasaan hancur karena merasa buruk, ada juga perasaan aneh. Saya yang merasa tidak punya ambisi khusus, seperti saya tulis di beberapa tulisan saya yang lain, saya kagum dan merasa kecil atau merasa kalah atau apa ya kata yang tepat untuk itu (bingung juga), padahal saya belum punya keinginan menjadi dosen seperti mereka. Segera menikah juga tidak seberapa ingin karena memang belum ada pasangan waktu itu. Rumah? Saya saja bercita-cita tinggal satu rumah dengan orang tua setelah menikah nanti. Mau sepadat apa lagi bumi ini kalau rumah dibangun terus. Jadi saya merasa aneh. Semacam ada rasa iri atas kesuksesan orang lain yang segala sesuatunya hanya dapat kita lihat dan nilai dari luar. Saya merasa itu situasi yang aneh. Kita tahu perjalanan orang satu dengan yang lain tidak pas jika dibandingkan tapi secara alami perasaan itu tetap ada, perasaan merasa "kecil" atau "kalah" tidak bisa saya pungkiri. Saya damai dengan diri saya sendiri bahwa saya iri dan mau mengolah rasa iri itu dengan lebih baik. Welcome to quarter life crisis! 24 tahun bukankah terdengar sangat terlambat? Ya, tapi begitulah perjalanan saya.

Semakin ke sini saya semakin (merasa) ada titik terang. Damai dengan diri sendiri adalah salah satu kunci untuk bisa lebih selow menghadapi quarter life crisis. Saya nggak bisa bilang itu sebagai kunci untuk keluar dari fase itu. Rasa-rasanya saya yang mulai merasakan ada di fase itu beberapa tahun lalu, nggak bisa memastikan sudah keluar atau belum sampai sekarang. Walaupun kata "quarter" sering diartikan seperempat abad, batas akhirnya tidak jelas. Ada yang mengatakan 20 sampai 30 tahun sih.

Pengalaman saya nih, di saat beberapa atau sebagian dari orang-orang yang merasa umur 20 tahun sudah mau menghasilkan uang dan nggak bergantung sama orang tua, itu bagus, keren, saya setuju aja. Walau saya nggak seperti itu. Karena saya baru betul-betul berhenti nggak minta uang jajan itu di tahun 2019. Itu saya bulatkan tekad dari beberapa bulan sebelum. November 2018 saya berulang tahun ke-25 tahun. Duh, merasa tuaaaaaa banget. Usaha banget untuk bisa damai sama diri sendiri. Waktu itu saya semester 5 untuk kuliah S2 saya. Ya, cuti kuliah sebetulnya. Itu salah satu masa yang sulit. Merasa buang-buang duit orang tua. Di saat beberapa teman saya kuliah S2 dengan biaya sendiri, mereka bekerja sembari kuliah, saya masih full dibiayai sekolah dan uang jajan oleh bapak. Walaupun sebetulnya nominal bulanan dari bapak nggak berubah sejak tahun 2011. Jadi ya saya tetap bekerja tipis-tipis. Uang jajan dari bapak hanya mencukupi kebutuhan saya sekitar 30-40% dari pengluaran bulanan saya. Selebihnya, kerja yang hanya haha hihi dan kadang iya kadang tidak, ternyata saya bisa mencukupi kebutuhan saya sendiri. Jadi salut banget untuk teman-teman yang sejak masuk kepala dua langsung struggle untuk lepas dari bergantung dengan orang tua. Walaupun, ketika tidak sengaja tahu bagaimana kondisi mereka, dalam hati langsung ingin puk puk mereka sambil bilang, "tapi jangan terlalu memaksa, karena orang tua kita pasti masih mau bantu". Tapi nggak pernah saya bilang langsung, saya tidak mau melukai harga diri mereka. Mana hidup saya belum bener.

Suatu hari ada diskusi singkat antara saya dan mas. Mas saya yang menikah di usia sangat muda, 20 tahun. Intinya, bahkan sudah berumah tangga, di masa sekarang masih hal wajar jika orang tua membantu anak-anak mereka. Mengapa? Karena kerasnya atau sulitnya mencukupi kebutuhan di zaman sekarang jauh lebih berkali-kali lipat dibanding masa orang tua kita masih muda. Lihat saja, betapa mengerikannya lonjakan harga tanah dan rumah setiap harinya yang tidak dibarengi dengan meningkatnya gaji para tenaga kerja baik negeri, kontrak, dan lain-lain. Jadi ya tidak salah ya ada yang memutuskan untuk menikah di saat betul-betul mapan. Juga tidak salah yang mengambil langkah menikah muda dengan segala konsekuensinya. Saya nggak bisa pihak mana-mana. Menikah saja masih bisa belum lepas, apalagi belum menikah.

Saya belum menikah, tapi dilihat dari usia, 26 tahun, saya sudah usia menikah. Beberapa teman sudah menikah, sudah punya anak, sudah anak dua, sudah punya cucu (bercanda sih). Saya memantapkan diri untuk tidak meminta uang jajan ke bapak. Bapak saya tipe pemberi uang jika diminta. Mungkin emang ngribetin buat bapak, seperti menambah pekerjaan saja kalau harus mengingat-ingat tanggal memberi uang saku. Sejak SMK saya sudah diberi uang jajan setiap bulan. Jadi saya yang akan menghampiri bapak setiap tanggalnya. Pernah sih ada masa beliau yang tanya, apakah masih ada uang jajannya, apakah sudah tanggalnya. Tapi jarang. Kebiasaan itu terbawa sampai S2. Hehehehe. Saat saya mulai komit masuk 2019 berhenti, bapak saya pertama menyadarinya sudah bulan April. Opini mas saya, saya berhak atas uang saku kalau belum menikah. Padahal saya nikah masih nggak tahu kapan. Hiks hahahaha. Saya juga memulai untuk bagi-bagi salam tempel ke ponakan-ponakan sejak beberapa tahun lalu. Saya berusaha memposisikan sebagai seorang perempuan dewasa yang sudah bisa hidup walaupun saya belum menikah. Nunggu nikah baru bagi-bagi ponakan, lagi-lagi saya nggak tahu itu akan terjadi kapan.

Sekarang, saya 26 tahun besok November menjadi 27 tahun. Masih merasa belum punya pencapaian? Tidak. Saya merasa punya pencapaian dari hal yang paling sederhana. Bodo amat dengan orang yang sudah melakukan ini sejak mereka masuk ke usia 20, saya mau apresiasi diri saya sendiri untuk pencapaian di titik sekarang. Walau masih numpang sama orang tua, penghasilan bulanan tidak menentu, kalau pas kere banget beli cilok aja nodong tangan ke ibu, pencapaian saya merasa mulai mandiri terhitung Januari 2019 sampai sekarang (Juli 2020). Thank God!

Pernah suatu hari saya mendaftar menjadi dosen di luar kota tanpa sepengetahuan orang tua. Lagi iseng untuk melawan keinginan hati. Pernah daftar jadi guru di sekolah swasta tapi saya tidak datang di hari terakhir tes. Sekarang saya masih bertahan dengan usaha cookies yang sepertinya belum bisa dipamerkan menjadi usaha yang besar. Tapi saya nggak takut untuk membayangkan usaha ini akan menjadi besar nantinya. Semoga Tuhan dan semesta mau menjaga hati saya biar tidak lelah untuk mendengar pertanyaan "sekarang ngajar di kampus mana?" kepada orang-orang yang menganggap lulusan S2 stereotip pekerjaannya adalah dosen. Fyi nih, sekolah S2 itu biasa banget sekarang. Usia 26 tahun seperti saya ada banyak di dunia ini yang terdaftar sebagai mahasiswa S3. Saya begitu mencintai usaha cookies ini. Nggak setiap hari ada pesanan. Nggak setiap bulan keuntungannya bisa memenuhi kebutuhan saya, alias kerja di bidang musiknya harus tetap jalan (kalau pas ada), tapi bahagia menjalaninya. Cita-cita punya outlet sendiri di tahun 2020 sepertinya sulay (baca: sulit). Ya, mari berjuang! Masih punya cita-cita untuk menerbitkan buku juga~ hmmmm Baru putus cinta juga~ Sulay... sulay...

Kalau sedang ada di fase quarter life crisis, jalanin aja. Olah overthinking-nya dengan lebih baik lagi. Kalau mau punya pencapaian, ya capailah sedikit demi sedikit. Kalau mau bermanfaat, berbuatlah sedikit demi sedikit. Kalau mau berjuang, berjuanglah sedikit demi sedikit. Kalau mau melangkah, melangkahlah sedikit demi sedikit. Nggak usah ngoyo. Membandingkan diri kita dengan orang lain memang tidak ada habisnya. Kalau ingin membandingkan diri kita sekarang, bandingkanlah dengan diri kita sebelumnya (Firlie, 2020).

Firlie NH
31 Juli 2020

Komentar

Banyak dibaca