4 SYAWAL 1443 H

Di suatu pagi yang sejuk, angin selepas subuh masuk melalui sela-sela jendela ke kamar tempatku bermalam, rumah bude. Sambil ngulet, aku mengambil ponsel dan segera menelfon pacar. Layaknya seseorang yang punya kekasih tapi sedang berjauhan karena sedang mudik ke kampung halaman masing-masing, aku sangat merindukannya, ingin mendengar suaranya, dan mengetahui kabarnya. Seminggu sebelumnya, ku antar dia ke terminal bus. Waktu itu rasanya berat sekali karena akan berpisah untuk waktu yang lama. Kata dia, dia akan sementara di sana, entah satu bulan, dua bulan, atau lebih. Di telfon, saat aku mengungkapkan rasa kangen yang banyak, dia tidak memberikan respon yang baik. Tendensi setiap kalimat yang ia lontarkan justru mengisyaratkan untuk mengakhiri hubungan kami. Seolah ingin memancing untuk marah dan aku yang akan meminta mengakhiri hubungan ini. Pada waktu itu, nggak ada sedikitpun di benakku untuk mengakhiri hubungan ini. Bahkan aku lagi kangen sekali, betul-betul kangen. Matahari baru saja terbit rasanya seperti mendadak tenggelam. Gelap, sedih, menggerutu, dan menutup telfon.

Beberapa obrolan cukup pelik melalui WhatsApp, aku ungkapkan keganjalan atas yang dia sampaikan dan aku berharap untuk dia jujur atas keinginannya tanpa membalik-balikkan situasi sehingga aku yang harus memohon untuk mengakhiri. Oh, tentu aku nggak bisa. Banyak hal yang aku pikirkan selama kami menjalin hubungan. Banyak pertimbangan, banyak adaptasi, dan banyak pemakluman yang aku pelajari dan biasakan. Ingat betul saat aku putus dari pacar sebelumnya, ada salah satu sifatnya yang aku tidak bisa terima. Kata ibu, kelak dengan orang baru akan selalu ada yang aku tidak bisa diterima, tidak bisa cocok seratus persen. Dari wejangan ibu, aku belajar, apapun yang aku tidak bisa terima atau tidak cocok dari pasanganku sekarang, aku akan coba untuk memahami, membiasakan, dan menghormati sampai ketemu hal yang betul-betul tidak bisa dilanjutkan aku baru akan berhenti. Aku masih bertahan sampai saat itu.

Di sore harinya menjelang magrib, saat aku sedang mengendarai mobil di jalan tol Ngawi-Solo perjalanan pulang ke Jogja, sambil menyalakan Google Maps yang aku taruh di depan spidometer, ada notifikasi WhatsApp muncul di layar ponsel. Sekitar empat chat lewat dan terbaca, salah satunya berbunyi, "ayo kita putus ..... (kalimat belakang tidak terbaca)". Mata hampir berkaca-kaca. Lalu aku tertawa dan bilang, "Pak, bu, aku diputusin". Lanjut tertawa lagi. Padahal sambil menahan, betul-betul menahan air mata. Aku lagi nyetir woy, lagi nyetir. 

Keluar jalan tol, kami diarahkan lewat jalan alternatif karena Kartasura menuju Jogja sangat padat. Kami keluar tol belok kanan dan melewati jalan tanpa aspal beberapa saat. Setelah bertemu jalan besar, kami istirahat. Aku buka WhatsApp dan membaca pesannya. Banyak yang ingin aku tanyakan untuk meminta penjelasan. Bohong. Aku dibohongi. Nggak cuma aku yang dibohongi, dia juga sudah membohongi dirinya sendiri selama ini. Aku akhiri hubungan kami dengan membalas satu kata, "oke".



Komentar

Banyak dibaca