MENGELOLA SAMPAH

Bagaimana rumahmu mengelola sampah?

Mengelola sampah butuh komitmen, waktu, tertib, rajin, dan kerja sama. Setuju nggak? Akhir-akhir ini rumahku mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam mengelola sampah. Di rumah ada empat penghuni, bapak, ibu, aku, dan adikku, Muhammad. Ketua pengelola sampah di rumah adalah aku. Haha. Sebagai ketua, haha apaan sih ketua segala, aku bagian paling sibuk paling cerewet si paling-paling lah pokoknya agar pengelolaan sampah bisa berjalan. Sebelum cerita cara mengelola sampah versi rumahku, aku mau bilang kalau rumahku belum sempurna, masih jauuuuuh. Semua butuh proses dan tidak sebentar.

Sudah berlangsung berapa lama? Aku nggak tahu. Dulu sekali, dimulai dengan tidak membuang sampah makanan ke dalam tempat sampah. Makanan basi, makanan sisa, dan makanan tidak layak makan lainnya, kami pisahkan dan setiap pagi kami sebar ke lahan milik tetangga. Ayam milik tetangga akan menyerbu dan menghabiskannya. Seomnivora itu, apapun betul-betul dimakan. Percayalah mereka nggak ada yang sakit, tipes pun nggak, aman. Anehnya, jika makanan sisa itu olahan ayam alias teman mereka sendiri, tetap lahap. haha. Pemilik ayam sesekali berterima kasih kepada kami karena ikut memberi makan. Dulu kadang kalau saya malas, saya masih membuang makanan sisa ke tempat sampah. Payah. Sekarang? Merasa bersalah kalau ada sisa makanan masuk tempat sampah.

Lambat laun mungkin sekitar satu tahun lalu aku mulai memisahkan sampah botol plastik. Setiap terkumpul satu kantong besar, botol aku letakkan di pojokan teras rumah. Rencananya mau aku kasih kalau perongsok datang. Suatu hari tetanggaku ada yang lewat dan menawarkan kalau biar beliau saja yang rutin mengambil. Oke. Sampai akhirnya ibu ini pergi bekerja ke Jakarta setelah suaminya meninggal. Aku kumpulkan sampai banyak, kalau pas perongsok lewat atau lihat ada pemulung memungut sampah dari tempat pembuangan RT, aku kasih.

Sampah lain nggak keurus. Kayak gitu untuk waktu yang lama. Sampah organik semacam kulit sayur dan buah masih masuk tempat sampah.

Selagi selalu mengumpulkan sampah botol plastik bekas minuman, di kamar aku sudah mengumpulkan botol bekas skincare yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Skincare kan habis untuk waktu yang lama. Beberapa botol beling bekas serum juga ada. Suatu hari seorang teman ngobrol soal sebaiknya make up kadaluarsa dan sampah  bekas skincare diapakan, ya. Dia mencari info di media sosial, di luar kota ada yang secara khusus menerima sampah kemasan bekas skincare dengan beberapa syarat salah satunya dicuci bersih sebelum dikirim mereka. Ribet, ya. Mungkin ni mungkin, mereka mengupayakan bekas kemasan ini bisa digunakan kembali tanpa proses daur ulang atau gimana nggak tahu juga ding. hehehe. Untuk make up kadaluarsa, aku dapat kontak penyalur make up kadaluarsa untuk make up jenazah dari seorang teman. Kalau ada yang butuh kontaknya juga, komen aja nanti bisa aku infokan. 

Aku ngobrol dengan teman yang lain, dia merekomendasikan aku untuk unduh aplikasi Rapel. Di aplikasi Rapel kita bisa mengunggah sampah kita dengan berbagai kategori dan kita akan dihubungi kolektor yang akan mengambil sekaligus membeli sampah kita. Sebetulnya cara ini sama dengan kalau perongsok lewat depan rumah kita, dia akan menimbang dan membeli barang bekas kita. Cuma karena sebelumnya aku hanya memisahkan botol, satu kantong tidak sampai sekilo, seringnya ya aku kasih aja, sedekah sampah. Kecuali ada kertas dan kardus kadang aku jual kadang ya aku kasih. Bedanya, Rapel bisa kita ajukan waktu penjemputan sampahnya. Kita juga bisa menabung kalau misal ingin dibayarkan melalui dompet digital, Gopay, pas udah banyak baru deh diambil. Tapi agak ribet, sih, waktu mau ambil via Gopay, soalnya kudu chat customer service segala.

Nah, dulu banget sebetulnya aku pernah unduh aplikasi Rapel karena punya sekitar empat kantong kain perca dan direkomendasikan teman yang lain lagi untuk membuangnya via Rapel. Pas cek ternyata belum menerima kain perca. Uninstall deh..

Oke lanjut.... Akhirnya, aku memutuskan untuk segala macam sampah yang masuk kategori di Rapel aku kumpulkan. Biar sekalian gitu deh. Nggak cuma sampah bekas skincare yang nggak seberapa itu. Punya temanku juga aku ambil aku jadikan satu. Segala macam di gudang yang tidak terpakai aku ambil. 

Unduhan pertama di Rapel aku membuang 70 kg sampah.

Untuk make up kadaluarsa milikku dan temanku, aku kirim ke Jakarta ke alamat yang diinformasikan teman tadi itu.

Nah, sejak itu aku semakin tertib untuk memilih sampah. Trigger lain, di media sosial sudah mulai banyak orang peduli untuk mengelola sampah mereka. Mau orang dekat atau influencer yang bersliweran di media sosial, keren banget, pada mulai telaten mengelola sampah bahkan sampah mengolahnya. Paling hebat, perjuangan mereka memberhentikan sampah benar-benar di mereka jadi harus diolah sendiri. Aku jadi belajar secara virtual sedikit demi sedikit. 

Oke, untuk waktu-waktu sekarang pengelolaan sampah di rumahku lebih diperketat. Aku mulai dengan membeli compos bag. Aku jelaskan ke ibu, bapak, dan Muhammad. Untuk Muhammad campur marah-marah, sih, sebel nggak ngerti-ngerti. Bapak dan ibu memang nurut kalau sama aku soal ketentuan rumah ya karena memang aku yang mengatur ini itu, mereka berpartisipasi untuk mewujudkannya. Ribet sih untuk jelasin, kardus makanan ditaruh sini, botol di sini, plastik di sini. Susah. Aku sederhanakan dengan, "Sampah kardus atau bekas nasi kotak dan botol jangan dimasukkan tempat sampah. Kulit buah dan sayur habis masak ditaruh besek". Nah, kardus, kotak nasi kertas, botol, dan kertas lainnya mereka taruh gitu aja. Ada yang dibiarkan di tempat terakhir mereka konsumsi atau ditaruh meja dekat dapur. Itu sudah cukup membantu sehingga yang berbahan kertas menjadi tidak basah. Aku tinggal mungut. Intinya mereka membantu dalam tidak mencampuradukkan sampah. Nah, gini. Rumahku sangat kecil. Tapi rumah sebelah ada rumah tetangga yang sejak beberapa tahun terakhir dibeli masku dan sampai sekarang belum direnovasi, dibiarin aja gitu deh rumahnya. Rumah ini yang aku gunakan mengelompokkan sampah sesuai kategorinya. 

Untuk saat ini, aku coba kelompokkan sampah ke tiga sub sampah di rumahku.

1. Sampah kering: botol, kardus apa aja entah kardus paket, kardus bekas nasi kotak, dan kardus bekas susu kemasan, serta plastik apapun yang tidak basah kuyup. Jujur, buat sampah basah kuyup misalnya nasi kotak ada kuahnya terus habis dituang, plastiknya ya masih aku masukkan tempat sampah. Duh, semoga progres selanjutnya mereka akan menjadi sampah yang lebih aku perhatikan. Hiks. Atau kertas minyak habis pakai, nah itu dua sampah yang masih aku masukkan tempat sampah yampuuun.

Seperti aku sebutkan di atas, bapak, ibu, dan Muhammad membantu dengan tidak memasukkan segala sampah ke tempat sampah. Ada yang ditaruh meja dekat dapur, di meja tempat mereka konsumsi, ada juga yang mereka inisiatif masukkan ke kantong yang aku sediakan. Aku sebetulnya belum begitu rajin, jadi asal itu sampah kering nggak membasahi satu sama lain, aku masukkan ke kantong besar yang aku letakkan di dapur. Sampah ini nggak bau kok. Nggak ngotor-ngotorin. Cuma buat transit sampah sebentar banget. Kalau ada sampah plastik yang tadinya basah dikit ya aku keringkan dulu sebelum masuk kantong tersebut. Setelah kantong itu penuh, aku pindah ke rumah sebelah. Setelah satu minggu atau lebih, di rumah sebelah aku kelompokkan sesuai kategorinya. Sejujurnya, mengelompokkan sampah ini capek tapi satisfying, lho. Coba deh~

2. Sampah kulit buah dan sayur. Buat sampah ini rada kondisional, sih. Misalnya sisa bahan masaknya bahan sawi, ya bisa dikasih ayam. Kalau kulit jeruk, kulit salak, dan daun pisang misalnya, masuk ke compos bag. Nah, sebetulnya aku melakukan percobaan ke ayam. Sampah daun pisang pernah aku potong keci-kecil dan kasih ayam. Oh, sobat omnivora ini ternyata nggak mau makan daun pisang. Akhirnya, yang sekiranya nggak bisa dimakan ayam, ya aku masukkan ke compos bag. Kalau bisa kasih ayam, pinginnya ke ayam aja. Karena, bikin kompos butuh waktu yang sangat lama dan kayaknya rumahku nggak sebutuh itu pupuk kompos. Oiya, ada beberapa cara bikin kompos. Aku belajar dari video YouTube. Salah satunya dengan mencampur sampah buah dan sayur ini dengen pasir dan menambahkan lubang. Jadi, kita tidak diperbolehkan memasukkan sampah daging, katanya ini akan menimbulkan bau yang tidak enak. Nah, di video tersebut kompos dibuat dengan ember cat yang diberi banyak lubang. Karena aku pakai compos bag, bagian rit nggak aku tutup penuh biar ada udara. Walau aku nggak tahu ini sudah betul atau belum, dari awal punya compos bag sekitar dua bulan ini, baru terisi mungkin 20%. Soalnya lebih mikirin ke ayam pokoknya. Kalau sudah penuh, di video dikatakan kompos digunakan setelah dibiarkan dua bulan. Hoho. Nggak tau deh soal ini. Setelah ada kelanjutan kemanfaatannya, aku perbarui di sini, ya.

3. Sampah sisa makanan. Buat sampah ini, rumah kami konsisten sejak lama. Ayam menjadi prioritas kami. hehe. Sebisa mungkin tidak ada makanan terbuang melainkan untuk ayam. Kalau pagi kami ke luar rumah padahal bukan untuk memberi makan, ayam sudah otomatis mendekati kami. hehe.


Sampah apa saja, nih, yang masih jadi PR atau belum kami perhatikan? Masih lumayan, sih. Sampah tisu paling parah. Harusnya diantisipasi dengan mengurangi penggunaan tisu itu sendiri. Ya, sebetulnya buat semua jenis sampah. Nah, bungkus plastik kecil-kecil seperti cemilan dari warung, gula diabet sachet, plastik tisu galon, dan sebagainya, itu sulit banget. Jadi aku masih harus pungut sampah plastik kecil-kecil tersebut dari tempat sampah. Bapak, ibu, dan Muhammad masih cuek banget. Kalau pas aku males, bye bye, aku biarin. Huhu :( Sampah plastik yang basah dan kotor seperti bekas gorengan itu juga masih masuk ke tempat sampah begitu saja.

Diusahakan ini harus berjalan terus, jangan kasih kendor, kalau perlu diperketat lagi. Kalau lagi mengelompokkan sampah di rumah sebelah, keresahanku soal bagaimana kita sebisa mungkin meminimalisir sampah-sampah ini. Huh, susah. Nggak bisa cuma sekadar bawa kantong belanja ke pasar dan swalayan serta minum tanpa sedotan plastik. Kalau berangkat beli gorengan lebih sering lupa bawa tempat makan sendiri, kalau bungkus soto yang diplastikin dari warungnya padahal bisa pakai rantang, dan masih banyak lagi. Yang aku syukuri sejauh ini, berasa banget, frekuensi buang sampah dari tempat sampah ke pembuangan yang disediakan RT, jauuuhhh lebih jarang. Kalau bisa ditahap sampah berhenti di kita, kenapa enggak? Let's gooo, perlahan kita perketat.

Kalau nggak punya lahan, gimana? Nggak punya ayam, gimana?

Iya, ya, gimana.. Kalau compos bag, nggak bikin bau, cukup ditaruh teras rumah, nggak makan tempat. Kalau soal botol, kardus, dan plastik bisa diakal setiap ada perongsok atau pemulung lewat, dikasih aja langsung. Nggak bakal menghasilkan uang, tapi itu bisa jadi terhitung sedekah, dan yang paling penting menurutku itu salah satu bentuk perjuangan kita dalam hal pengelolaan sampah. Kalau nggak mulai dari kita, dari hal kecil, dan dari sekarang, mau gimana coba?

Banyak banget hal yang perlu kita mulai buat meminimalisir sampah lebih ketat lagi bahkan dari hal sangat kecil. Di tulisan berikutnya akan aku bahas, ya!


Komentar

Banyak dibaca